Pages

23 October 2015

gelap










ketika asap tebal menyelimuti tanahku
mata kecil penuh cahaya dan harapan
wajah bening penuh cinta dan cita-cita mulia bangun negeri
hati suci penuh ketinggian budi dan kasih-sayang sesama

        redup dan mati sebelum masanya
        punah semua asa
        hilang lenyap semua cita
        sirna semua rasa

karena kau, hai petaka durjana
penguasa rakus citra, dibalut dongeng nan mulia

karena kau, pemburu harta dan HPH
taipan pikun babu negara jiran kaya

kau, prajurit tua yang hanya pentingkan tahta
batu akik dan arloji di lemari kaca

kau, pembuat berita rekayasa
membiarkan dusta dan kesewenangan merajalela
karena kau merasa punya dunia

bedebah kalian semua!

***numbness. 23/10/15. 19:47***

     

14 August 2014

How are you going to change the world?

UoG  new tagline - How are you going to change the world?
I read and think through this question every morning I pass by this fence around the Students Union's building at the junction of University Avenue and Otago Street, which is currently undergoing reconstruction.

I ask my self this question 2-3 times while walking along this site in the midde of busy morning traffic.

Until today, to be honest, I do not have a clear answer to the question, although some parts of my brain did send some sparks.

I have poverty in mind, as the main problem that I wanted to put my head around and do something about. But how am I really going to change the world with it, is still vague for me. Yes, eradication of poverty will certainly change the world for the better, but there have been so many people working on poverty alleviation.

Despite the World Bank, Jeffrey Sachs, Bod Geldof, Millenium Development Goals, Abhijit Banarjee, Muhammad Yunus, or Bono, poverty sustains. Yes, the number of poor people gloablly has declined over the years, but many of them have been put back below the line by famine, inflation, war, diseases, and geopolitics. Or, if poverty does decline in one region or country, it will rise and sustain in the many others.

Pessimistic it is, but this is how far I have gone in trying to asnwer this unsettling question the University of Glasgow has put up on a construction site! My morning walk to the office couldn't have been better.

So, how am I going to change the world, exactly?!

08 May 2014

Indonesia 10 besar ekonomi dunia: pentingkah?

Menjelang pemilihan presiden, Indonesia menerima kabar yang membesarkan hati berupa ranking yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dalam hal negara dengan besaran ekonomi (dari segi GDP) terbesar. Meski isu utama di berbagai media dunia adalah potensi China yang akan segera menyalip AS, serta India yang mengalahkan Jepang dan Jerman, namun yang heboh di tanah air adalah posisi Indonesia.

Selain media cetak utama, Presiden SBY dan beberapa menteri secara khusus mengumumkan posisi Indonesia yang sudah meningkat menjadi 10 besar ekonomi dunia. Meskipun barangkali banyak yang tidak peduli dengan kondisi perekonomian Indonesia, namun media sosial ramai membicarakan peringkat 10 ini.



Apa sebenarnya yang terjadi? 

Meskipun heboh kemana-mana, namun peringkat 10 besar ini bukanlah suatu keajaiban atau prestasi yang luar biasa. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia hanya tumbuh 5-6% dari tahun lalu, sehingga nilai GDP kita tahun ini pun sesungguhnya masih hampir sama dengan tahun lalu. Yang menyebabkan Indonesia naik tingkat dari posisi ke-16 menjadi 10 adalah pergantian metode hitung, itu saja.

Semua ini bermula dari upaya untuk mengukur kekuatan ekonomi dunia dengan metode yang paling akurat dan tepat. Sejak beberapa tahun yang lalu, Bank Dunia dengan mandat dari UN Statistical Division telah melakukan berbagai kajian dan eksperimen dalam menghitung ulang GDP berbagai negara. Program yang dinamakan International Comparison Program ini telah dimulai sejak tahun 1968, namun setelah sangat lama vakum dihidupkan kembali pada tahun 2005.

Program ini mencoba menghitung ulang GDP dengan mengukur pada kesetaraan daya beli atau Purchasing Power Parities (PPP), dimana hasil produk domestik bruto (PDB atau GDP) dinilai bukan dengan US$ (pada suatu tahun tertentu) tapi pada nilai tukar yang sesuai dengan daya beli uang lokal tersebut di dalam negeri. Salah satu contoh yang cukup terkenal adalah Big Mac Index, yang diperkenalkan majalah The Economist sejak tahun 1986. Metode ini menghitung apakah mata uang suatu negara under- atau overvalue, dengan melihat harga burger Big Mac diseluruh dunia.

Sebagai contoh, katakan misalnya harga Big Mac bulan Januari 2014 adalah US$4,6 di US, sementara di Indonesia harganya cuma US$2,7 (pada kurs pasar bulan tersebut). Artinya, ketika barang yang sama persis dijual dengan harga yang berbeda, maka pasti ada yang keliru dengan perhitungan kurs - ceteris paribus. Dalam hal ini Rupiah dihargai lebih rendah dari Dollar AS, atau under valued sebesar 50%. Untuk penyetaraan, maka nilai tukar mata uang Rupiah dengan US$ harus dihitung ulang sesuai persentase tadi untuk menghasilkan nilai tukar sesuai PPP.

Metode ini dianggap lebih akurat dibandingkan metode sekarang yang menghargai hasil produk domestik bruto suatu negara dipukul rata dalam kurs US$ pada waktu tertentu. Misalnya, asumsikan bahwa produksi Indonesia pada 2014 adalah hanya 1 juta big mac, maka dengan harga tadi diperoleh nilai GDP Indonesia bulan Januari sebesar US$2,7 juta. Padahal kalau Big Mac tersebut dihitung dengan nilai yang bisa didapat dengan harga di US, GDP Indonesia seharusnya bisa mencapai US$4,6 juta. Proses inilah yang sudah dilakukan Bank Dunia.

Metode PPP menghitung ulang harga-harga barang yang dianggap setara dan kemudian dibuatkan indeks seperti Big Mac untuk hampir 200 negara di dunia. Disinilah rumitnya metode PPP ini dan memakan waktu bertahun-tahun, karena harus dicari index harga sekian banyak barang yang jumlahnya cukup representatif dari hampir semua negara di dunia ini. Namun hasilnya adalah sebuah metode perhitungan Gross Domestic Product yang lebih menggambarkan ukuran ril ekonomi suatu negara.

So what?

Yang paling banyak dibicarakan dari hasil perhitungan metode PPP ini adalah perihal ekonomi China, yang sebelumnya hanya separuh dari ekonomi AS telah melonjak menjadi hampir setara. Banyak lembaga riset memprediksikan ekonomi China akan segera menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia dalam 2-3 tahun ke depan. Dampaknya tentu akan sangat besar, karena dominasi dan supremasi AS sebagai kekuatan terbesar dunia sedang dibayang-bayangi China. 


Namun bagi kita di Indonesia, sesungguhnya tidak banyak yang akan berubah. Meski Indonesia sebelumnya berada di posisi ke-16 dan sekarang sudah 'naik kelas' menjadi 10 besar ekonomi dunia, namun besaran GDP kita masih sama, persoalan bangsa kita masih akan serupa - atau malah memburuk setelah euphoria pemilihan umum usai, dan kesenjangan sosial di Indonesia semakin membesar akibat konsentrasi kekayaan hanya di kalangan tertentu. 

Tidak disangkal, menjadi kekuatan besar ekonomi dunia tentu membanggakan, namun yang perlu disikapi adalah berbagai konsekuensi yang akan mengiringi posisi baru ini. Ketika kita di peringkat 16, G20 dibentuk ketika krisis besar melanda negara maju yang tergabung dalam G7/G8; dan karenanya kita secara otomatis berada di dalamnya. Meski banyak keuntungan menjadi anggota klub negara 'kaya' ini, namun kita diharuskan untuk juga beradaptasi dengan berbagai kebijakan yang terkadang belum sepenuhnya relevan atau membantu kita pada saat ini. Persoalan dan prioritas negara maju tentu beda dengan kita yang sedang membangun. 

Dan yang lebih penting adalah tanggungjawab yang juga semakin besar. Sebagai bagian dari G20, misalnya, Indonesia dituntut untuk berpartisipasi dalam berbagai agenda dunia, terutama menjaga stabilitas ekonomi dunia yang semakin tidak stabil ini. Salah satu konsekuensinya adalah Indonesia diminta lebih berperan aktif ketika krisis melanda belahan dunia manapun, termasuk menambah setoran modal atau dana talangan emergensi yang dikelola IMF. 

Tentu saja ini dilematis, karena disatu sisi kita masih memerlukan dana besar untuk mengejar ketertinggalan dan mendanai proyek pembangunan, disisi lain kita diharuskan solider sebagai salah satu kekuatan besar ekonomi dunia. Dan kini ketika peringkat kita semakin besar, tanggungjawab yang dipikul tentu saja akan semakin besar; 'great power comes great responsibility/liability'. Berhasil atau tidaknya kita memikul tanggung jawab ini, mungkin hanya waktu yang bisa membuktikan.***


05 May 2014

Piketty Effect: masih relevankah isu kesenjangan?

Pertanyaan ini kembali mencuat setelah buku Thomas Piketty Capital in the 21st Century menjadi best seller dan menjadi bahan perdebatan panjang di berbagai kampus dan media utama dunia. Buku yang aslinya ditulis dan terbit dalam bahasa Perancis pada tahun 2013, dan baru tahun ini terbit versi terjemahan Bahasa Inggris, telah mengguncang status quo pemikiran ekonomi kapitalis dan kubu neoliberal. Selama ini kesenjangan bukan dianggap sebagai by product dari sistem kapitalisme, melainkan hanya distorsi yang akan terkoreksi sendiri oleh mekanisme pasar.

Apa istimewanya Thomas Piketty ini, sampai menciptakan efek yang luar biasa ini? Padahal beberapa tahun yang lalu James Galbraith (2012) dan Joseph Stiglitz (2013) sudah menulis buku dengan isu yang sama, ketika sedang hangat-hangatnya gerakan We are the 99% yang sempat menduduki Wall Street dan bahkan menular ke Eropa.

Setidaknya ada tiga hal yang mengangkat Capital ke jenjang popularitas yang cukup tinggi: pertama kekuatan data yang disajikan, yang menjangkau periode selama 200 tahun; kedua, kesimpulan buku ini merupakan hasil riset kolaborasi Piketty dengan ekonom papan atas selamat 15 tahun, yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal ternama (4-star); dan terakhir, momentum lambannya pemulihan ekonomi AS dan Eropa yang tidak seperti diharapkan dimana ketidakpuasan the working class masih tinggi.

Selain itu, faktor 'non-teknis' juga sangat berperan, diantaranya adalah munculnya nama-nama besar yang menuliskan pandangan, pujian, sanggahan, kritik terhadap buku Piketty. Sampai saat ini, setidaknya sudah dua pemenang hadiah Nobel yang menulis resensi buku Piketty secara khusus, dan dengan pujian yaitu Paul Krugman dan Robet Solow.

Dalam New York Review of Books, Paul Krugman menyebut buku ini sebagai an awesome work:
Capital in the Twenty-First Century is, as I hope I’ve made clear, an awesome work. At a time when the concentration of wealth and income in the hands of a few has resurfaced as a central political issue, Piketty doesn’t just offer invaluable documentation of what is happening, with unmatched historical depth. He also offers what amounts to a unified field theory of inequality, one that integrates economic growth, the distribution of income between capital and labor, and the distribution of wealth and income among individuals into a single frame.
Sementara Robert Solow, pemilik Solow growth model dan bapak teori economic growth, dalam tulisannya di New Republic menyebutkan bahwa argumen Piketty sudah tepat.
Income inequality in the United States and elsewhere has been worsening since the 1970s. The most striking aspect has been the widening gap between the rich and the rest. This ominous anti-democratic trend has finally found its way into public consciousness and political rhetoric. A rational and effective policy for dealing with it—if there is to be one—will have to rest on an understanding of the causes of increasing inequality. 
Isu sentral dari buku ini memang income inequality, atau kesenjangan pendapatan. Isu ini sangat sensitif karena salah satu kesimpulan Piketty adalah kegagalan sistem kapitalisme dalam menciptakan kesetaraan atau kesejahteraan bagi semua pelaku ekonomi. Yang terjadi malah semakin tingginya konsentrasi pendapatan yang diakumulasi oleh kaum elit dan pemilik modal.

Ini terutama dibuktikan dengan tingginya return on capital (properti, investasi keuangan) dibandingkan tingkat economic growth, dengan selisih sampai 3% (mis. return 7% p.a., sementara growth 4-5%). Asumsinya growth dinikmati oleh semua pihak, sementara return on capital hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Namun ironisnya, mayoritas kue ekonomi hasil pertumbuhan juga dinikmati oleh sebagian kecil kaum elit.

Alhasil, pepatah 'yang kaya semakin kaya' terbukti, dan Piketty menganggap punca dari konsistennya disparitas ini adalah inheren dalam sistem kapitalis sendiri. Misalnya, sistem perpajakan negara maju yang hanya fokus pada pendapatan/income, sementara capital, harta tetap atau financial assets yang dimiliki kaum elit tidak dikenakan pajak (secara progressif). Ini membuat konsentrasi kekayaan hanya berputar di kalangan top incomes atau the 1%.

Banyak pihak yang setuju dengan argumentasi dan data yang disodorkan oleh Piketty, namun banyak juga yang tidak bisa menerima kalau dampak kapitalisme sejelek itu. Sebagian mulai melabel Piketty sebagai reinkarnasi Karl Marx dan menawarkan solusi yang hanya bisa diterapkan dalam sistem sosialis. The Economist menyebut Piketty sebagai Marx baru, sebutan yang senarnya lebih bersifat sinikal daripada penyamaan kaliber atau ideologi keduanya.

Isu yang kemudian diangkat oleh kalangan yang kontra dengan Piketty adalah mengenai relavansi isu inequality dalam diskursus ekonomi modern.

The Economist misalnya, sebagai satu satu corong kelompok ini, terus menerus menyangkal keterkaitan antara sistem kapitalisme dengan kesenjangan sosial yang tercipta, dan balik mempertanyakan relevansi isu disparitas dan kesenjangan ini.

Begitu juga beberapa ekonom mainstream, sebagian mulai menyangkal keras beberapa kesimpulan dan solusi yang ditawarkan Piketty. Galbraith misalnya, mempertanyakan solusi pajak harta dan investasi keuangan yang disebutkan Piketty. Bagi Galbraith, pajak harta atas orang-orang kaya sangat sulit dilakukan dan memerlukan biaya yang tidak kecil, mengingat kompleksnya mekanisme investasi dan wealth management kaum super kaya tersebut.

Namun, satu hal yang tidak bisa dibantah adalah fakta yang disodorkan buku ini. Terlepas dari pemikiran Piketty, yang katanya pendukung partai sosialis di Perancis, namun buku ini menawarkan bukti yang sangat solid berupa data kesenjangan pendapatan di negara maju selama hampir 200 tahun. Seharusnya ini sudah cukup untuk membuat kita berhenti sejenak dari melihat bagaimana data ini dikumpulkan atau apa saja kesimpulan yang telah diambil oleh penulis buku ini, dan mengambil langkah bijak mengoreksi 'distorsi' ini.

Kalau memang mekanisme pasar mumpuni mengoreksi distorsi disparitas, maka sepatutnya hal tersebut sudah lama terjadi. Namun kenyataannya kesenjangan semakin besar dan yang kaya semakin fantastis tingkat kekayaanya.

Misalnya, sebagaimana grafik berikut, lebih dari 40% kekayaan dunia hanya dinikmati oleh 0.7% dari total populasi dunia, yaitu mereka dengan kekayaan diatas US$1 juta. Tentu saja ini masalah besar yang tidak bisa diselesaikan oleh mekanisme pasar, yang telah terbukti 'gagal' selama 200 tahun.

Sudah saatnya ekonomi dunia melihat persoalan kesenjangan dan disparitas sebagai suatu masalah serius. Otak-otak cerdas ekonom dunia sudah waktunya digunakan untuk menyelesaikan masalah real dalam ekonomi secara efektif, bukan berdebat hal-hal abstrak dengan rumus matematis dan teori.

Dan ketakutan adanya trade-off antara growth dan inequality nyata-nyata semu dan tidak dapat dibuktikan. Dalam grafik sebelumnya terlihat jelas bahwa kadar pertumbuhan aggregat ekonomi dunia terus meningkat dan positif dari tahun ke tahun.

Oleh karena itu, yang diperlukan adalah kebijakan serius dan berbeda dalam menangani kesenjangan ini dengan upaya yang ekstra serius dan skala yang semakin luas, paling tidak sebagaimana semangat dan slogan baru Bank Dunia; menuju shared prosperity. Namun kalau ini hanya sekedar slogan dan tidak diterapkan pada level negara, bukan tidak mungkin dunia akan terus pincang, kumuh, sesak dengan penderitaan, dan tidak nyaman ditempati, hanya karena sistem yang kita pakai tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap penduduknya. Dan ya, kalau itu masih berlaku, isu kesenjangan masih sangat relevan untuk beberapa dekade ke depan.***





28 April 2014

Menara Ilmu Glasgow

Bagi yang mendalami ilmu ekonomi, University of Glasgow lebih dikenal sebagai tempat Adam Smith memulai karirnya, termasuk menuntaskan buku penting yang meletakkan fondasi dasar bagi sistem Kapitalisme, Theory of Moral Sentiments. Bagi orang kebanyakan, terutama di Inggris raya, universitas ini lebih dikenal sebagai universitas tertua ke-4 di UK setelah Oxford, Cambridge and St. Andrews. Usianya memang sudah lumayan sepuh, karena didirikan pada tahun 1451.

Namun bagi civitas academica-nya, Glasgow mempunyai tautan tersendiri. Kalau Oxford terkenal dengan asrama-collegenya yang spektaculer dan Cambridge dengan aliran sungai Cam yang melenakan, maka Glasgow dikenal dengan menaranya. Menara ala Gothic ini merupakan simbol Glasgow, dan bisa dilihat dari beberapa km jauhnya.

Menara yang asalnya berfungsi sebagai menara jam atau clocktower ini sendiri tidaknya terlalu istimewa, namun tanpa menara ini bangunan universitas akan kelihatan biasa saja. Desain kompleks menara sendiri diilhami oleh bangunan Universitas Glasgow pertama di pusat kota, dalam kompleks katedral karena memang sejarah Universitas ini didirikan oleh bishop William Turnbull atas permintaan Raja James II. Menara dan bangunan utama kampus Glasgow dibangun pada tahun 1866 dan selesai pada 1870.

Menara ini merupakan ciri khas Glasgow, yang bukan hanya menonjol secara fisik tapi juga menunjukan karakter warga Glasgow yang bold dan elegan.

Menara University of Glasgow























Dari jarak dekat, kompleks Main Building dimana menara ini berdiri, juga lumayan unik. Suasana di pelataran antara West dan East Quadrangle, dua bangunan utama yang bersebelahan, sangat tenang dan nyaman. Kalau cuaca sedang cerah, banyak sekali dosen dan mahasiswa yang makan siang atau ngopi, baik di kursi yang tersedia atau di reremputan yang hijau. Namun, karena cuaca di Glasgow cenderung senantiasa gloomy, mendung dan hujan, maka pelataran yang asri ini sering kosong dan sepi.

Selasar di West Quad 















Yang juga unik dari University of Glasgow adalah karakter mahasiswanya yang anti kemapanan, yang mungkin juga mewakili karakter orang Glasgow dan Skotlandia secara keseluruhan. Baru-baru ini misalnya, mahasiswa Glasgow telah memilih buronan politik Edward Snowden sebagai Rektor mereka untuk tiga tahun ke depan. Meski Rektor hanyalah seremonial, namun posisi ini cukup prestisius juga karena banyak tokoh politik, bisnis dan budaya yang pernah menduduki posisi Rektor.

Selain itu, karena tahun ini merupakan tahun referendum bagi Skotlandia, pilihannya antara 'Yes' atau 'No' untuk pisah dari United Kingdom dan menjadi negara sendiri, suasana kampus semakin ramai.

Barangkali karena karakter ini pulalah; apa adanya, ramah, terbuka, cenderung suka hati, anti kemapanan, dan gaya bicara mereka yang lugas, yang menjadikan orang Glasgow dan Skotlandia secara umumnya bisa diterima dan cukup sukses dimana-mana. Scots terkenal sebagai bangsa perantau, terutama ke dataran Amerika, Canada, Australia dan New Zealand. Dalam darah mereka memang mengalir darah bangsa pengembara yaitu Celtic, Germanic dan Viking, di samping bangsa asli Skotlandia atau highlanders yang mempunyai sejarah petualangan yang panjang.

Diantara warga Glasgow yang cukup terkenal misalnya adalah Alex Ferguson, Kenny Dalglish, Gordon Brown dan termasuk juga tokoh legenda Merlin. Dan ini belum dihitung orang Skotlandia lain yang dikenal dalam banyak bidang, baik sains, olah raga maupun budaya. Ini seolah mengisyaratkan bahwa menara ilmu yang mencakar langit di Glasgow merupakan simbol penjelajahan bangsa Skotlandia yang panjang dan jauh.***

21 December 2013

Arti sebuah meja.

Bone, 2011
Meja adalah tempat menjaga amanah. Sebagai pemberi jasa, sebagaimana ketika melayani tamu Cahaya Bone di Sulawesi Selatan, meja di kaunter merupakan tempat menunaikan janji dan amanah dari pelanggan. Sebagai pejabat dan anggota dewan terhormat, meja kerja dari kayu jati atau mahony merupakan saksi apakah janji-janji dan amanah yang diemban telah ditunaikan atau dikhianati.
Sentul City, 2010
Meja adalah representasi identitas dan kepribadian. Meja yang bersih dan rapi, mungkin menunjukkan bahwa yang bekerja disitu merupakan orang yang teratur dan mampu mengelola hidupnya dengan baik dan terukur. Mungkin juga sedang tidak banyak kerjaannya.







Jakarta, 2010
Meja juga merupakan pajangan. Semakin banyak files bertumbuk dan berserakan, semakin sibuklah kelihatan sang pemilik meja. Sehingga boss dan tauke bisa tersenyum senang dan perusahaan tidak merasa rugi mempekerjakan sang pekerja budiman.







Jakarta, 2009
Meja adalah tempat dimana banyak cerita tersembunyi atau terkuak. Satu dus Gudang Garam tentu bukan mainan bagi pria sejati, tetapi gambaran gaya hidup tersendiri.









Meja tanpa judul - Glasgow 2013.
Dan akhirnya, meja juga merupakan tempat sunyi untuk menyendiri. Menghasilkan lamunan berbobot dan hayalan sia-sia. Apapun itu, meja adalah tempat semua cerita ditumpahkan, tempat semua duka lara tersembunyi dalam tumpukan kertas dan filing cabinet. Tempat manusia terus mencari jati diri seutuhnya. ***

12 July 2013

Catatan Lebaran: Mudik kemana?

Mudik, tradisi Indonesia.
Dalam satu kesempatan sholat jumat, seorang khatib menceritakan tentang galaunya Nabi Adam as. dan kerinduannya yang mendalam akan kampung halaman. Sepanjang hayatnya beliau tidak pernah melupakan kampung halaman nan asri dan penuh kedamaian. Setiap kali ada kesempatan, dengan dipayungi bintang-bintang gemerlapan dan bulan purnama, Adam as. menceritakan kepada anak-anaknya perihal rumah dan kampung asal mereka semua. Sebuah tempat yang tidak ada taranya di dunia ini. 

Adam mengajak keluarganya untuk mematuhi semua ketentuan dan syarat supaya bisa kembali ke kampung halaman. Meskipun sudah 'dibuang' dari kampung halamannya, Adam dan keturunannya diberikan syarat oleh Allah SWT jika ingin kembali ke kampung halaman, yaitu iman dan ketaqwaan.   

Dengan cerita ini, Adam dan Hawa sejatinya ingin melepas kerinduan akan rumah dan kampungnya, sekaligus ingin mengajak anak-anaknya untuk mempunyai ikatan batin dengan kampung halaman. Kampung tersebut digambarkan oleh Adam sebagai tempat terindah yang pernah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta, penuh kedamaian dan pesona yang memikat seluruh panca indera.

Ketika Adam bercerita, gambaran kampung halaman digambarkan dengan ilustrasi terbaik dan real, karena Adam memang mengalaminya secara jasmaniah dan dalam keadaan sepenuhnya sadar, bukan mimpi atau pengalaman ruhiah semata. Gambaran fisik kampung halaman tersebut dan ilustrasi multidimensi diceritakan oleh Adam sama seperti ketika kita menggambarkan kampung halaman kepada anak-anak yang belum pernah mengunjunginya. 

Sehingga ketika Adam merindu surga, maka memori yang muncul dan cerita yang disampaikan bukan hanya satu dimensi, visual atau pendengaran, tetapi utuh sebagai sebuah pengalaman semua panca inderanya.

Ketika Adam dan Hawa wafat, kisah dibawah bulan purnama ini terus diceritakan oleh anak cucu mereka, dari generasi ke generasi. Namun seiring berjalannya waktu, secara perlahan-lahan cerita asal muasal manusia mulai dilupakan, termasuk generasi kita sekarang.

Gambaran surga, kampung halaman kita itu, sekarang hanyalah gambaran abstrak, yang bagi sebagian kecil orang hanya bikinan 'tokoh agama' untuk mengajak ummat mengikuti ajaran agama. Bagi yang membaca al-Quran dan belajar dari para Ulama, pemahaman mereka mungkin jauh lebih baik, namun masih hanya kumpulan puzzle yang tidak utuh.

Hakikatnya manusia memang sudah lupa dengan rumah asal kita. Manusia memang sudah durhaka dengan kampung halamannya. Setiap detik kita rela menghabiskan waktu untuk menghias dan memperindah pondok kita di dunia, dan makin lupa akan kampung kita yang sebenarnya.***12 July 2013.

21 June 2013

Buya Hamka: Apakah Perlunja Iman Kepada Allah Bagi Suatu Bangsa?

Buku Hamka - transformatif 

Diwaktu otak manusia djernih dan bersih, tidak tertjampur kesombongan dan tidak hanja pertjaja kekuatan diri sendiri jang kerapkali salah itu, timbullah dalam hatinja perasaan, bahwa ada jang mengatur alam ini. Pengakuan atas adanja jang mengatur alam, adalah pengakuan asli manusia. 

Perasaan itu mesti timbul bilamana dia memperhatikan alam seisinja. Bertambah perhatiannja, bertambah terbuka hidjabnja-hidjab jang tertutup adalah pada ilmu jang belum sampai, masih ditengah perdjalanan.

Setengah manusia jang sombong ditjukupkannja sadja perasaannja sehingga ilmu jang tanggung, dan setengahnja pula sudah terasa dihati sanubarinja bahwa memang ada jang mendjadikan alam, tetapi tidak dinjalakannja perasaannja itu lantaran kalau dia pertjaja dengan „Jang Mendjadikan", mesti dia disebut orang beragama, sedang beragama itu menurut aturan sekarang, adalah kolot.

Memang ada jang mendjadikan alam. Tentang namanja itu adalah menurut perasaan sendiri-sendiri. Boleh dinamai "Jang Mendjadikan", "Jang Menjusun", "Jang Mengatur", "Jang lebih berkuasa". Oleh agama, nama itu disimpulkan didalam satu perkataan jaitu: Allah !

Dengan keterangan2 itu dapat dipaham, bahwa Allah memandang dan mendjaga tiap2 diri hambanja. Tiap-tiap kita ini dalam tilikan Tuhan, dalam lindungNja. Kalau demikian tjita Allah kepada kita, djadi siapakah kita ini mestinja, wahai tuan-tuan?

Wahai orang-orang jang menjerukan kebenaran, jang berniat hendak memadjukan bangsa dan tanah airnja.

Wahai orang-orang jang tidak sajang darah dan njawa untuk mentjapai bahagia dan kemerdekaan; jang hendak melepaskan aniaja dan belenggu, jang hendak menegakkan keadilan dan kebenaran!

Dengarlah madahku, aku hendak menundjukkan suatu djalan supaja maksud jang mulia itu tertjapai !

Terangkanlah kepada orang banyak, kepada pendengar-pendengar pidatomu, kepada pembatja-pembatja tulisanmu, kepada rakyat jang sudi mengikutmu; terangkanlah kepada mereka, bahwa Allah senantia-a melihat dan mendjaga gerak-gerik mereka selama-lamanja.

Terangkanlah kepada setiap pemerintahan jang berdiri, berlaku adillah memerintah. Sebab kezaliman harus dipertanggung djawabkan dihadapan Jang Maha Kuasa !

Terangkan sampai terasa, kepada hakim-hakim, bahwa djika mereka menghukum dengan zalim, perkara ini kelak akan dibuka kembali dihadapan Allah.

Terangkan kepada orang berniaga, bahwa djika mereka menipu, tipuannja selalu dilihat Tuhan, tidakkah dia malu.

Terangkanlah kepada mereka semua, bahwa besar dan ketjil semuanja dalam pendjagaan dan tilikan Tuhan. Dengan djalan demikian akan tertjapailah oleh manusia bahagia dan kemenangan.

Wahai seluruh manusia jang tjinta akan tanah airnja, Jang ingin supaja bangsanja madju dan tanah airnja mulia! Pakailah kepertjajaan, supaja tertjapai kemuliaan jang diingini. Kalau tuan-tuan merasai lemah untuk memperbaiki otak angkatan jang sekarang, sebab telah terlalu rusak, perbaikilah otak angkatan jang akan datang, jaitu pemuda-pemuda.

Tidak ada kerugian suatu umat jang pertjaja bahwa manusia ini ada jang mendjadikan. Tetapi kepertjajaan, membangkitkan hati untuk mempertinggi budi pekerti, mempermulia kesopanan dan mendjauhkan diri dari perangai jang rendah, menurut ukuran tinggi rendah kepertjajaan itu.

Kalau tidak ada kepertjajaan, hidup tidak ada harganja lagi. Adalah manusia hidup laksana dimalam jang gelap, tidak ada harapan menunggu kedatangan fadjar, hatipun Lemahlah, kegiatan hilang.

Iman adalah sumber kekuatan hati, sumber keindahan alam pada penglihatan mata. Iman menjebabkan hidup mempunjai maksud dan tudjuan, sehingga timbullah minat mentjapai maksud dan mengedjar tudjuan itu. Iman menimbulkan tjita-jita untuk beroleh gandjaran dan pahala diatas pekerdjaan jang dikerdjakan. Tidak beriman membawa kepada tegak hidup jang tidak bersendi, membawa keberanian merusak dan sewenang-wenang kepada sesama manusia.

Ketahuilah, bahwa nafsu pantang kerendahan, hawa pantang kekurangan. Kalau tidak ada iman akan menghambat langkah dan djalannja, tjelakalah dia. Iman bahwa diri dan alam ada jang mengatur, ada jang mengintip dan ada jang memperhatikan. Jang berkuasa menurunkan bahagia dan bentjana kepada manusia, pada suatu kehidupan sesudah kehidupan jang sekarang.

Kepertjajaan inilah jang menghambat manusia dari aniaja, chizit, chianat, loba, jang kuat menganiaja jang lemah, jang tjerdik mendjual jang bodoh. Kepertjajaan ini pula jang membela kebenaran sampai tegak dengan teguhnja.

Kalau masih terdapat orang jang mengaku beriman, pada hal belum terhambat dari pada dirinja kedjahatan itu, tanda imannja baru hingga pengakuan. Alangkah mudahnja mengaku dan alangkah sukarnja melakukan?

Ada jang berkata: Djika maksud agama hendak mendidik manusia berperangai baik, sedang saja telah berperangai baik, tidak mentjuri, tidak berzina, tidak menganiaja, apa guna saja beragama lagi ?

Itujah orang jang hendak lari dari agama, tetapi masih tak dapat melepaskan ikatan agama dari dirinja. Sebab, siapakah jang lebih dahulu dari agama, jang menerangkan bahwa mengambil hak milik orang lain dinamai mentjuri?

Siapakah jang menamai perhubungan diluar nikah zina? Dan siapakah jang mengatakan merampas hak milik orang lain menganiaja?

Apakah salahnja kalau orang jang bertanja itu mentjuri supaja anaknja makan ?

Apakah salahnja zina, padahal alam mendjadikan manusia laki2 dan perempuan sama-sama mempunjai alat buat bersetubuh?

Apakah salahnja menganiaja?

Bukankah manusia berkuat-berlemah ?

Kalau semuanja itu salah, siapakah jang mengatakan salah?

Didjawab: Kemanusiaan !

Kalau itu jang dikatakan kemanusiaan, apakah bedanja dengan agama? Apakah jang memberatkan tuan menamainja agama?

Bukan fanatik kalau kita katakan bahwa dunia jang telah morat-marit ini akan kembali kepada djajanja, mentjapai suatu perdamaian besar, djika iman dihidupkan.

Agamalah sebab bahagia diri dan bahagia masjarakat, menegakkan pergaulan hidup atas asas perdamaian dan ketjintaan. Jaitu agama jang tidak tertjampur dengan churafat dan bid'ah manusia, untuk mentjapai bahagia dunia dan achirat.

Untuk kesentosaan perikemanusiaan!** Dikutip dari Tasauf Modern

02 May 2013

Buku: Teman Masa Kecil dan Remaja

Saya tidak ingat kapan mulai bisa membaca, atau buku apa yang pertama kali dibaca. Yang jelas, ketika kelas III Madrasah Ibtidaiyah Negeri, hampir setiap hari saya meminjam dua buku di perpustakaan, dan besoknya dikembalikan karena sudah tamat. Guru di perpustakaan sampai kewalahan, karena perpustakaan sekolah kami dulu tidak terlalu banyak koleksinya.

Gara-gara suka membaca, Aba yang mempunyai toko buku di Banda Aceh, menambah koleksi buku-buku jualannya dari buku/kitab agama dan buku sekolah dengan buku-buku cerita bernuansa Islam. Namun seingat saya, periode akhir 1970an tersebut tidak banyak buku cerita anak-anak yang terbit. 

Diantara sedikit buku anak tersebut, komik merupakan salah satunya. Yang menjadi favorit dan mungkin paling membekas dalam ingatan adalah Taman Firdaus, karya K.T. Ahmar dan terbit pertama tahun 1961. Buku yang menceritakan tentang kisah hidup dua teman yang lahir (dan meninggal) pada waktu yang hampir bersamaan, Saleh dan Karma, ini lumayan bagus alur ceritanya. Gambaran tentang kematian, siksa kubur dan neraka, yang menjadi pesan utama buku, lumayan menakutkan. 

Saleh diceritakan sebagai anak yang lahir dari keluarga sederhana. Tapi karena kegigihan dan kebaikannya, akhirnya dia mempunyai toko sendiri, aktif dan menjadi tokoh di masyarakat, serta akhirnya mendapatkan bintang mahaputra dari pemerintah. Ketika meninggal, dia digambarkan mendapatkan husnul khatimah, mudah ketika sakaratul maut dan masuk surga (Taman Firdaus). 

Sementara Karma digambarkan lahir dan hidup kaya raya. Akhlaknya buruk, suka menganiaya binatang, berfoya-foya, tidak sayang kepada orang tua (ketika ayahnya meninggal, dia digambarkan tidak peduli dan terus berjudi), dan bergelimang dosa. Ketika dia meninggal, dia jatuh pailit dan menderita serangan jantung. Tentu saja, dia akhirnya mendapatkan siksa kubur, menerima buku amal dengan tangan kiri dan dijerumuskan dalam neraka.

Komik 1960-70an
tentang kebaikan dan keburukan















Menjelang tamat sekolah dasar, saya mulai akrab dengan buku-buku kisah perjuangan dan zaman kemerdekaan, terutama buku-buku Balai Pustaka yang banyak tersedia di perpustakaan sekolah dan di toko buku orang tua. Diantara yang menjadi favorit adalah La Hami, Layar Terkembang, dan beberapa judul lain yang saya tidak ingat tentang serangan fajar dan bandung lautan api. 

Dalam periode ini, memang buku sedikit terpinggirkan dari keseharian. Selain karena ketika naik kelas V ibu meninggal dunia, dan karenanya semangat dan motivasi sedikit hilang, acara di televisi menjadi tarikan yang sulit dilawan. Koleksi buku di rumah hanya menjadi pajangan, karena kartun di TVRI lebih banyak dibicarakan teman sepermainan.





















Ketika masuk Tsanawiyah, selain meneruskan buku-buku Balai Pustaka dengan tema yang sudah mulai berubah, misalnya Salah Asuhan, Sitti Nurbaya dan sejenisnya, era Gramedia juga bermula. Meskipun saat ini, sandiwara radio Saur Sepuh lebih sering menjadi hiburan di waktu istirahat. Buku yang menjadi tarikan utama fase tanggung ini adalah kumpulan cerita Lima Sekawan (The Famous Five) dan Deni Manusia Ikan (Fishboy: Denizen of the Deep). Imajinasi pulau hantu dan tempat-tempat aneh di Inggris menjadi hiburan dan hayalan.

Yang paling seru adalah menunggu seri Deni Manusia Ikan berikutnya datang. Dalam setiap jilid, ending-nya selalu dibuat sama yaitu Deni nyaris dan hampir saja ketemu dengan orang tuanya. Selain penasaran dan deg-degan menunggu edisi terbaru datang ke Banda Aceh, kami harus lebih sabar karena pengiriman dari Jakarta sering terlambat sampai. Ujung-ujungnya baru sebulan kemudian rasa penasaran terobati sementara. Begitu terus sampai jilid ke 11, kalau tidak salah. 

Akhirnya, ketika membaca jilid terakhir, saya meneteskan air mata karena akhirnya Deni berhasil berjumpa dengan kedua orang tuanya, yang menyangka dia sudah hilang selamanya. Cerita yang seru dan mengharukan.

The Famous Five versi Indonesia
Deni jilid 1 - dulu terbit 1-2 minggu sekali




















Ketika beranjak remaja, 'ketergantungan' dengan Gramedia semakin tinggi. Selain melangganan Malajah Hai, Lupus, dan belakangan Balada Si Roy, merupakan bacaan wajib. Selain sebagai 'referensi' dan bahan cerita di sekolah, terutama teka-teki dan gurauan khas, membaca Lupus merupakan terapi dari maraknya lagu-lagu cengeng di TVRI. Lupus juga membuat masa-masa sulit pancaroba dan pencarian jati diri menjadi ringan dijalani.

Sementara Si Roy memunculkan mimpi-mimpi indah untuk menjelajahi nusantara dan negeri-negeri yang jauh. Balada Si Roy adalah bacaan yang mungkin menjadi pemicu keinginan kuat untuk merantau dan menjejakan kaki di tempat-tempat baru.

Kumpulan cerita Lupus pertama
Kumpulan kisah pertualangan si Roy





















Buku merupakan nota peradaban dan pertanda zaman. Setiap generasi mempunyai bacaan masing-masing yang memengaruhi pola fikir dan karakter diri, karena biasanya bacaan waktu kecil dan remaja akan membekas dalam benak kita selamanya. Barangkali dari bacaan masing-masing generasi inilah kita bisa mengetahui kenapa suatu zaman atau generasi menjadi lebih patriotik, sementara generasi lainnya menjadi alay dan lebay.***

16 April 2013

Obsesi Teknologi Jerman

Tidak diragukan, Jerman merupakan negara maju. Salah satu pengalaman menarik ketika mengunjungi Ulm dan Bonn beberapa minggu yang lalu adalah menikmati efisiennya seluruh rutinitas kehidupan di Jerman. Mulai jadwal kereta apinya yang super on-time, pelayanan publik yang tidak bertele-tele, serta standar pelayanan toko atau restoran yang sangat tinggi.

Penggunaan teknologi bisa dibilang sudah tahap obsesif. Waiters di beberapa restoran sudah menggunakan pencatat menu elektronik (yang terhubung dengan tukang masak serta sekaligus alat pencetak kwitansi); sementara tiket bus-kereta-tram sudah terintegrasi dengan rapi, serta ada insentif untuk pembelian tiket di mesin karena kalau ke ticket services akan dikenakan charge 2 Euro; serta banyak lagi contoh lainnya.

Namun yang paling mengesankan adalah pengalaman di restoran kebab. Di salah satu restoran kebab Turki yang cukup terkenal, tukang kebabnya tidak lagi menggunakan pisau, namun menggunakan mesin otomatis untuk mengiris daging. Sangat efisien dan tentunya tepat takaran yang diinginkan - satu porsi, dua porsi, dst.

Terfikir juga sejenak, entah apalagi yang sudah mereka otomatisasi di Jerman ini. Jangan-jangan nanti akan ada vending machine kebab.  Benar-benar!

Mesin pengiris daging kebab di Arslan Kebap, Ulm