Pages

08 May 2014

Indonesia 10 besar ekonomi dunia: pentingkah?

Menjelang pemilihan presiden, Indonesia menerima kabar yang membesarkan hati berupa ranking yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dalam hal negara dengan besaran ekonomi (dari segi GDP) terbesar. Meski isu utama di berbagai media dunia adalah potensi China yang akan segera menyalip AS, serta India yang mengalahkan Jepang dan Jerman, namun yang heboh di tanah air adalah posisi Indonesia.

Selain media cetak utama, Presiden SBY dan beberapa menteri secara khusus mengumumkan posisi Indonesia yang sudah meningkat menjadi 10 besar ekonomi dunia. Meskipun barangkali banyak yang tidak peduli dengan kondisi perekonomian Indonesia, namun media sosial ramai membicarakan peringkat 10 ini.



Apa sebenarnya yang terjadi? 

Meskipun heboh kemana-mana, namun peringkat 10 besar ini bukanlah suatu keajaiban atau prestasi yang luar biasa. Gross Domestic Product (GDP) Indonesia hanya tumbuh 5-6% dari tahun lalu, sehingga nilai GDP kita tahun ini pun sesungguhnya masih hampir sama dengan tahun lalu. Yang menyebabkan Indonesia naik tingkat dari posisi ke-16 menjadi 10 adalah pergantian metode hitung, itu saja.

Semua ini bermula dari upaya untuk mengukur kekuatan ekonomi dunia dengan metode yang paling akurat dan tepat. Sejak beberapa tahun yang lalu, Bank Dunia dengan mandat dari UN Statistical Division telah melakukan berbagai kajian dan eksperimen dalam menghitung ulang GDP berbagai negara. Program yang dinamakan International Comparison Program ini telah dimulai sejak tahun 1968, namun setelah sangat lama vakum dihidupkan kembali pada tahun 2005.

Program ini mencoba menghitung ulang GDP dengan mengukur pada kesetaraan daya beli atau Purchasing Power Parities (PPP), dimana hasil produk domestik bruto (PDB atau GDP) dinilai bukan dengan US$ (pada suatu tahun tertentu) tapi pada nilai tukar yang sesuai dengan daya beli uang lokal tersebut di dalam negeri. Salah satu contoh yang cukup terkenal adalah Big Mac Index, yang diperkenalkan majalah The Economist sejak tahun 1986. Metode ini menghitung apakah mata uang suatu negara under- atau overvalue, dengan melihat harga burger Big Mac diseluruh dunia.

Sebagai contoh, katakan misalnya harga Big Mac bulan Januari 2014 adalah US$4,6 di US, sementara di Indonesia harganya cuma US$2,7 (pada kurs pasar bulan tersebut). Artinya, ketika barang yang sama persis dijual dengan harga yang berbeda, maka pasti ada yang keliru dengan perhitungan kurs - ceteris paribus. Dalam hal ini Rupiah dihargai lebih rendah dari Dollar AS, atau under valued sebesar 50%. Untuk penyetaraan, maka nilai tukar mata uang Rupiah dengan US$ harus dihitung ulang sesuai persentase tadi untuk menghasilkan nilai tukar sesuai PPP.

Metode ini dianggap lebih akurat dibandingkan metode sekarang yang menghargai hasil produk domestik bruto suatu negara dipukul rata dalam kurs US$ pada waktu tertentu. Misalnya, asumsikan bahwa produksi Indonesia pada 2014 adalah hanya 1 juta big mac, maka dengan harga tadi diperoleh nilai GDP Indonesia bulan Januari sebesar US$2,7 juta. Padahal kalau Big Mac tersebut dihitung dengan nilai yang bisa didapat dengan harga di US, GDP Indonesia seharusnya bisa mencapai US$4,6 juta. Proses inilah yang sudah dilakukan Bank Dunia.

Metode PPP menghitung ulang harga-harga barang yang dianggap setara dan kemudian dibuatkan indeks seperti Big Mac untuk hampir 200 negara di dunia. Disinilah rumitnya metode PPP ini dan memakan waktu bertahun-tahun, karena harus dicari index harga sekian banyak barang yang jumlahnya cukup representatif dari hampir semua negara di dunia ini. Namun hasilnya adalah sebuah metode perhitungan Gross Domestic Product yang lebih menggambarkan ukuran ril ekonomi suatu negara.

So what?

Yang paling banyak dibicarakan dari hasil perhitungan metode PPP ini adalah perihal ekonomi China, yang sebelumnya hanya separuh dari ekonomi AS telah melonjak menjadi hampir setara. Banyak lembaga riset memprediksikan ekonomi China akan segera menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia dalam 2-3 tahun ke depan. Dampaknya tentu akan sangat besar, karena dominasi dan supremasi AS sebagai kekuatan terbesar dunia sedang dibayang-bayangi China. 


Namun bagi kita di Indonesia, sesungguhnya tidak banyak yang akan berubah. Meski Indonesia sebelumnya berada di posisi ke-16 dan sekarang sudah 'naik kelas' menjadi 10 besar ekonomi dunia, namun besaran GDP kita masih sama, persoalan bangsa kita masih akan serupa - atau malah memburuk setelah euphoria pemilihan umum usai, dan kesenjangan sosial di Indonesia semakin membesar akibat konsentrasi kekayaan hanya di kalangan tertentu. 

Tidak disangkal, menjadi kekuatan besar ekonomi dunia tentu membanggakan, namun yang perlu disikapi adalah berbagai konsekuensi yang akan mengiringi posisi baru ini. Ketika kita di peringkat 16, G20 dibentuk ketika krisis besar melanda negara maju yang tergabung dalam G7/G8; dan karenanya kita secara otomatis berada di dalamnya. Meski banyak keuntungan menjadi anggota klub negara 'kaya' ini, namun kita diharuskan untuk juga beradaptasi dengan berbagai kebijakan yang terkadang belum sepenuhnya relevan atau membantu kita pada saat ini. Persoalan dan prioritas negara maju tentu beda dengan kita yang sedang membangun. 

Dan yang lebih penting adalah tanggungjawab yang juga semakin besar. Sebagai bagian dari G20, misalnya, Indonesia dituntut untuk berpartisipasi dalam berbagai agenda dunia, terutama menjaga stabilitas ekonomi dunia yang semakin tidak stabil ini. Salah satu konsekuensinya adalah Indonesia diminta lebih berperan aktif ketika krisis melanda belahan dunia manapun, termasuk menambah setoran modal atau dana talangan emergensi yang dikelola IMF. 

Tentu saja ini dilematis, karena disatu sisi kita masih memerlukan dana besar untuk mengejar ketertinggalan dan mendanai proyek pembangunan, disisi lain kita diharuskan solider sebagai salah satu kekuatan besar ekonomi dunia. Dan kini ketika peringkat kita semakin besar, tanggungjawab yang dipikul tentu saja akan semakin besar; 'great power comes great responsibility/liability'. Berhasil atau tidaknya kita memikul tanggung jawab ini, mungkin hanya waktu yang bisa membuktikan.***


No comments: