Pages

05 May 2014

Piketty Effect: masih relevankah isu kesenjangan?

Pertanyaan ini kembali mencuat setelah buku Thomas Piketty Capital in the 21st Century menjadi best seller dan menjadi bahan perdebatan panjang di berbagai kampus dan media utama dunia. Buku yang aslinya ditulis dan terbit dalam bahasa Perancis pada tahun 2013, dan baru tahun ini terbit versi terjemahan Bahasa Inggris, telah mengguncang status quo pemikiran ekonomi kapitalis dan kubu neoliberal. Selama ini kesenjangan bukan dianggap sebagai by product dari sistem kapitalisme, melainkan hanya distorsi yang akan terkoreksi sendiri oleh mekanisme pasar.

Apa istimewanya Thomas Piketty ini, sampai menciptakan efek yang luar biasa ini? Padahal beberapa tahun yang lalu James Galbraith (2012) dan Joseph Stiglitz (2013) sudah menulis buku dengan isu yang sama, ketika sedang hangat-hangatnya gerakan We are the 99% yang sempat menduduki Wall Street dan bahkan menular ke Eropa.

Setidaknya ada tiga hal yang mengangkat Capital ke jenjang popularitas yang cukup tinggi: pertama kekuatan data yang disajikan, yang menjangkau periode selama 200 tahun; kedua, kesimpulan buku ini merupakan hasil riset kolaborasi Piketty dengan ekonom papan atas selamat 15 tahun, yang diterbitkan dalam jurnal-jurnal ternama (4-star); dan terakhir, momentum lambannya pemulihan ekonomi AS dan Eropa yang tidak seperti diharapkan dimana ketidakpuasan the working class masih tinggi.

Selain itu, faktor 'non-teknis' juga sangat berperan, diantaranya adalah munculnya nama-nama besar yang menuliskan pandangan, pujian, sanggahan, kritik terhadap buku Piketty. Sampai saat ini, setidaknya sudah dua pemenang hadiah Nobel yang menulis resensi buku Piketty secara khusus, dan dengan pujian yaitu Paul Krugman dan Robet Solow.

Dalam New York Review of Books, Paul Krugman menyebut buku ini sebagai an awesome work:
Capital in the Twenty-First Century is, as I hope I’ve made clear, an awesome work. At a time when the concentration of wealth and income in the hands of a few has resurfaced as a central political issue, Piketty doesn’t just offer invaluable documentation of what is happening, with unmatched historical depth. He also offers what amounts to a unified field theory of inequality, one that integrates economic growth, the distribution of income between capital and labor, and the distribution of wealth and income among individuals into a single frame.
Sementara Robert Solow, pemilik Solow growth model dan bapak teori economic growth, dalam tulisannya di New Republic menyebutkan bahwa argumen Piketty sudah tepat.
Income inequality in the United States and elsewhere has been worsening since the 1970s. The most striking aspect has been the widening gap between the rich and the rest. This ominous anti-democratic trend has finally found its way into public consciousness and political rhetoric. A rational and effective policy for dealing with it—if there is to be one—will have to rest on an understanding of the causes of increasing inequality. 
Isu sentral dari buku ini memang income inequality, atau kesenjangan pendapatan. Isu ini sangat sensitif karena salah satu kesimpulan Piketty adalah kegagalan sistem kapitalisme dalam menciptakan kesetaraan atau kesejahteraan bagi semua pelaku ekonomi. Yang terjadi malah semakin tingginya konsentrasi pendapatan yang diakumulasi oleh kaum elit dan pemilik modal.

Ini terutama dibuktikan dengan tingginya return on capital (properti, investasi keuangan) dibandingkan tingkat economic growth, dengan selisih sampai 3% (mis. return 7% p.a., sementara growth 4-5%). Asumsinya growth dinikmati oleh semua pihak, sementara return on capital hanya dinikmati oleh para pemilik modal. Namun ironisnya, mayoritas kue ekonomi hasil pertumbuhan juga dinikmati oleh sebagian kecil kaum elit.

Alhasil, pepatah 'yang kaya semakin kaya' terbukti, dan Piketty menganggap punca dari konsistennya disparitas ini adalah inheren dalam sistem kapitalis sendiri. Misalnya, sistem perpajakan negara maju yang hanya fokus pada pendapatan/income, sementara capital, harta tetap atau financial assets yang dimiliki kaum elit tidak dikenakan pajak (secara progressif). Ini membuat konsentrasi kekayaan hanya berputar di kalangan top incomes atau the 1%.

Banyak pihak yang setuju dengan argumentasi dan data yang disodorkan oleh Piketty, namun banyak juga yang tidak bisa menerima kalau dampak kapitalisme sejelek itu. Sebagian mulai melabel Piketty sebagai reinkarnasi Karl Marx dan menawarkan solusi yang hanya bisa diterapkan dalam sistem sosialis. The Economist menyebut Piketty sebagai Marx baru, sebutan yang senarnya lebih bersifat sinikal daripada penyamaan kaliber atau ideologi keduanya.

Isu yang kemudian diangkat oleh kalangan yang kontra dengan Piketty adalah mengenai relavansi isu inequality dalam diskursus ekonomi modern.

The Economist misalnya, sebagai satu satu corong kelompok ini, terus menerus menyangkal keterkaitan antara sistem kapitalisme dengan kesenjangan sosial yang tercipta, dan balik mempertanyakan relevansi isu disparitas dan kesenjangan ini.

Begitu juga beberapa ekonom mainstream, sebagian mulai menyangkal keras beberapa kesimpulan dan solusi yang ditawarkan Piketty. Galbraith misalnya, mempertanyakan solusi pajak harta dan investasi keuangan yang disebutkan Piketty. Bagi Galbraith, pajak harta atas orang-orang kaya sangat sulit dilakukan dan memerlukan biaya yang tidak kecil, mengingat kompleksnya mekanisme investasi dan wealth management kaum super kaya tersebut.

Namun, satu hal yang tidak bisa dibantah adalah fakta yang disodorkan buku ini. Terlepas dari pemikiran Piketty, yang katanya pendukung partai sosialis di Perancis, namun buku ini menawarkan bukti yang sangat solid berupa data kesenjangan pendapatan di negara maju selama hampir 200 tahun. Seharusnya ini sudah cukup untuk membuat kita berhenti sejenak dari melihat bagaimana data ini dikumpulkan atau apa saja kesimpulan yang telah diambil oleh penulis buku ini, dan mengambil langkah bijak mengoreksi 'distorsi' ini.

Kalau memang mekanisme pasar mumpuni mengoreksi distorsi disparitas, maka sepatutnya hal tersebut sudah lama terjadi. Namun kenyataannya kesenjangan semakin besar dan yang kaya semakin fantastis tingkat kekayaanya.

Misalnya, sebagaimana grafik berikut, lebih dari 40% kekayaan dunia hanya dinikmati oleh 0.7% dari total populasi dunia, yaitu mereka dengan kekayaan diatas US$1 juta. Tentu saja ini masalah besar yang tidak bisa diselesaikan oleh mekanisme pasar, yang telah terbukti 'gagal' selama 200 tahun.

Sudah saatnya ekonomi dunia melihat persoalan kesenjangan dan disparitas sebagai suatu masalah serius. Otak-otak cerdas ekonom dunia sudah waktunya digunakan untuk menyelesaikan masalah real dalam ekonomi secara efektif, bukan berdebat hal-hal abstrak dengan rumus matematis dan teori.

Dan ketakutan adanya trade-off antara growth dan inequality nyata-nyata semu dan tidak dapat dibuktikan. Dalam grafik sebelumnya terlihat jelas bahwa kadar pertumbuhan aggregat ekonomi dunia terus meningkat dan positif dari tahun ke tahun.

Oleh karena itu, yang diperlukan adalah kebijakan serius dan berbeda dalam menangani kesenjangan ini dengan upaya yang ekstra serius dan skala yang semakin luas, paling tidak sebagaimana semangat dan slogan baru Bank Dunia; menuju shared prosperity. Namun kalau ini hanya sekedar slogan dan tidak diterapkan pada level negara, bukan tidak mungkin dunia akan terus pincang, kumuh, sesak dengan penderitaan, dan tidak nyaman ditempati, hanya karena sistem yang kita pakai tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap penduduknya. Dan ya, kalau itu masih berlaku, isu kesenjangan masih sangat relevan untuk beberapa dekade ke depan.***





No comments: