Pages

02 May 2013

Buku: Teman Masa Kecil dan Remaja

Saya tidak ingat kapan mulai bisa membaca, atau buku apa yang pertama kali dibaca. Yang jelas, ketika kelas III Madrasah Ibtidaiyah Negeri, hampir setiap hari saya meminjam dua buku di perpustakaan, dan besoknya dikembalikan karena sudah tamat. Guru di perpustakaan sampai kewalahan, karena perpustakaan sekolah kami dulu tidak terlalu banyak koleksinya.

Gara-gara suka membaca, Aba yang mempunyai toko buku di Banda Aceh, menambah koleksi buku-buku jualannya dari buku/kitab agama dan buku sekolah dengan buku-buku cerita bernuansa Islam. Namun seingat saya, periode akhir 1970an tersebut tidak banyak buku cerita anak-anak yang terbit. 

Diantara sedikit buku anak tersebut, komik merupakan salah satunya. Yang menjadi favorit dan mungkin paling membekas dalam ingatan adalah Taman Firdaus, karya K.T. Ahmar dan terbit pertama tahun 1961. Buku yang menceritakan tentang kisah hidup dua teman yang lahir (dan meninggal) pada waktu yang hampir bersamaan, Saleh dan Karma, ini lumayan bagus alur ceritanya. Gambaran tentang kematian, siksa kubur dan neraka, yang menjadi pesan utama buku, lumayan menakutkan. 

Saleh diceritakan sebagai anak yang lahir dari keluarga sederhana. Tapi karena kegigihan dan kebaikannya, akhirnya dia mempunyai toko sendiri, aktif dan menjadi tokoh di masyarakat, serta akhirnya mendapatkan bintang mahaputra dari pemerintah. Ketika meninggal, dia digambarkan mendapatkan husnul khatimah, mudah ketika sakaratul maut dan masuk surga (Taman Firdaus). 

Sementara Karma digambarkan lahir dan hidup kaya raya. Akhlaknya buruk, suka menganiaya binatang, berfoya-foya, tidak sayang kepada orang tua (ketika ayahnya meninggal, dia digambarkan tidak peduli dan terus berjudi), dan bergelimang dosa. Ketika dia meninggal, dia jatuh pailit dan menderita serangan jantung. Tentu saja, dia akhirnya mendapatkan siksa kubur, menerima buku amal dengan tangan kiri dan dijerumuskan dalam neraka.

Komik 1960-70an
tentang kebaikan dan keburukan















Menjelang tamat sekolah dasar, saya mulai akrab dengan buku-buku kisah perjuangan dan zaman kemerdekaan, terutama buku-buku Balai Pustaka yang banyak tersedia di perpustakaan sekolah dan di toko buku orang tua. Diantara yang menjadi favorit adalah La Hami, Layar Terkembang, dan beberapa judul lain yang saya tidak ingat tentang serangan fajar dan bandung lautan api. 

Dalam periode ini, memang buku sedikit terpinggirkan dari keseharian. Selain karena ketika naik kelas V ibu meninggal dunia, dan karenanya semangat dan motivasi sedikit hilang, acara di televisi menjadi tarikan yang sulit dilawan. Koleksi buku di rumah hanya menjadi pajangan, karena kartun di TVRI lebih banyak dibicarakan teman sepermainan.





















Ketika masuk Tsanawiyah, selain meneruskan buku-buku Balai Pustaka dengan tema yang sudah mulai berubah, misalnya Salah Asuhan, Sitti Nurbaya dan sejenisnya, era Gramedia juga bermula. Meskipun saat ini, sandiwara radio Saur Sepuh lebih sering menjadi hiburan di waktu istirahat. Buku yang menjadi tarikan utama fase tanggung ini adalah kumpulan cerita Lima Sekawan (The Famous Five) dan Deni Manusia Ikan (Fishboy: Denizen of the Deep). Imajinasi pulau hantu dan tempat-tempat aneh di Inggris menjadi hiburan dan hayalan.

Yang paling seru adalah menunggu seri Deni Manusia Ikan berikutnya datang. Dalam setiap jilid, ending-nya selalu dibuat sama yaitu Deni nyaris dan hampir saja ketemu dengan orang tuanya. Selain penasaran dan deg-degan menunggu edisi terbaru datang ke Banda Aceh, kami harus lebih sabar karena pengiriman dari Jakarta sering terlambat sampai. Ujung-ujungnya baru sebulan kemudian rasa penasaran terobati sementara. Begitu terus sampai jilid ke 11, kalau tidak salah. 

Akhirnya, ketika membaca jilid terakhir, saya meneteskan air mata karena akhirnya Deni berhasil berjumpa dengan kedua orang tuanya, yang menyangka dia sudah hilang selamanya. Cerita yang seru dan mengharukan.

The Famous Five versi Indonesia
Deni jilid 1 - dulu terbit 1-2 minggu sekali




















Ketika beranjak remaja, 'ketergantungan' dengan Gramedia semakin tinggi. Selain melangganan Malajah Hai, Lupus, dan belakangan Balada Si Roy, merupakan bacaan wajib. Selain sebagai 'referensi' dan bahan cerita di sekolah, terutama teka-teki dan gurauan khas, membaca Lupus merupakan terapi dari maraknya lagu-lagu cengeng di TVRI. Lupus juga membuat masa-masa sulit pancaroba dan pencarian jati diri menjadi ringan dijalani.

Sementara Si Roy memunculkan mimpi-mimpi indah untuk menjelajahi nusantara dan negeri-negeri yang jauh. Balada Si Roy adalah bacaan yang mungkin menjadi pemicu keinginan kuat untuk merantau dan menjejakan kaki di tempat-tempat baru.

Kumpulan cerita Lupus pertama
Kumpulan kisah pertualangan si Roy





















Buku merupakan nota peradaban dan pertanda zaman. Setiap generasi mempunyai bacaan masing-masing yang memengaruhi pola fikir dan karakter diri, karena biasanya bacaan waktu kecil dan remaja akan membekas dalam benak kita selamanya. Barangkali dari bacaan masing-masing generasi inilah kita bisa mengetahui kenapa suatu zaman atau generasi menjadi lebih patriotik, sementara generasi lainnya menjadi alay dan lebay.***

No comments: