Pages

14 April 2013

Mencari Masjid di Eropa

London Central Mosque
Bagi kebanyakan orang, mengunjungi Eropa sangat identik dengan museum, landmark sejarah dan budaya, arsitektur bergaya klasik atau baroque, shopping, katedral, kafe, coklat, dan seterusnya.

Tidak banyak yang memperhatikan, ternyata masjid-masjid di Eropa juga menarik untuk dikunjungi, selain untuk sholat tentunya.

Masjid memang sempat menjadi kontroversi di beberapa negara Eropa, terutama dengan munculnya kelompok (dan politisi) garis keras yang cenderung anti-imigran dan anti-Islam. Di beberapa negara, masjid misalnya dilarang untuk memiliki menara, izin sangat susah diperoleh dan seterusnya.

Namun pada umumnya, hampir semua negara di Eropa membolehkan kaum Muslim untuk mendirikan tempat ibadah yang layak, dan di beberapa tempat cukup megah. Dengan demikian, tidak ada alasan sebenarnya bagi turis Muslim untuk melewatkan (paling tidak) sholat jum'at ketika berada di Eropa.

Mencari masjid di Eropa relatif mudah. Dalam peta resmi beberapa kota besar seperti Paris dan London, petunjuk tempat ibadah sudah tertera dengan jelas - termasuk lokasi masjid. Kalau tidak ada di peta,  cara yang termudah adalah dengan bertanya langsung kepada warga lokal (tidak harus yang Muslim). Biasanya mereka akan dengan senang hati mengarahkan kita ke masjid yang dituju.

Mesin pencari Google juga bisa membantu, karena hampir semua masjid di Eropa mempunyai website, dan bahkan sebagian aktif di Twitter atau Facebook. Wikipedia juga mempunyai entry khusus mengenai masjid di Eropa.

Secara umum, ada tiga jenis masjid yang akan kita jumpai di daratan Eropa ini.

Pertama, masjid yang mempunyai aktivitas ritual penuh dan tampilan fisik layaknya masjid yang biasa kita jumpai di Indonesia. 

Mosquee Paris
Masjid kategori ini benar-benar berfungsi sebagai tempat ibadah dan juga sebagai pusat kebudayaan Islam yang dikelola dengan baik, termasuk adanya imam dan muadzin yang bertugas khusus.

Beberapa kota besar utama Eropa seperti Paris, London, Roma sudah mempunyai masjid-masjid dan Islamic centre dengan fungsi penuh tersebut. Tidak hanya tempat ibadah, masjid-masjid ini ternyata juga berperan sebagai sarana untuk interaksi budaya dan keagamaan antara warga Muslim (pendatang atau lokal) dengan penduduk yang (mayoritas) non-Muslim.

Biasanya masjid-masjid ini berukuran cukup besar dan berlokasi di kawasan yang mempunyai jumlah penduduk Muslim yang signifikan, atau di ibukota negara dimana banyak tinggal diplomat atau mahasiswa berbagai negara Muslim.

Masjid Koln
Menariknya, diantara masjid yang masuk dalam kategori ini ada yang dibangun hampir seratus tahun yang lalu. Masjid Paris misalnya, mulai dibangun awal tahun 1920an oleh pemerintah Perancis guna menghormati jasa pasukan Aljazair yang berperang untuk Perancis melawan Jerman.

Masjid yang terletak sekitar 1 km dari Universitas Paris-Sorbonne ini, sekarang mejadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi turis yang datang ke Paris, terutama warga asli dari berbagai wilayah di Perancis dan sekitarnya. Setiap hari sekitar 50-100 orang turis datang mengunjungi masjid ini.

Sementara di Koln, Jerman, masjid megah yang sedang dalam tahap penyelesaian merupakan salah satu contoh asimilasi arsitektur masjid Ottoman dengan unsur arsitektur Jerman. Bahkan bagi arsiteknya, Paul Bohm, masjid Koln merupakan wujud integrasi sosial dan budaya.

Sebagaimana kebanyakan masjid lain di Jerman, masjid ini dibangun dan dikelola oleh komunitas Muslim keturunan Turki. Khutbah Jumat juga dilakukan dalam bahasa Turki dan bahasa Jerman.

Moskee Al Hijra, Leiden
Kategori kedua adalah masjid yang dibangun dengan merenovasi atau merubah fungsi beberapa rumah atau toko yang berdempetan menjadi masjid.  Masjid kategori ini paling lazim dijumpai di seluruh wilayah Eropa. Selain lebih murah, proses perizinan dan renovasinya juga lebih mudah.

Tidak jarang masjid rumah-ruko ini terletak diantara berbagai toko atau flat di sekitar pusat kota, terutama dekat dengan stasiun ketera api. Terkadang juga, masjid-masjid ini relatif sulit dicari karena tidak mempunyai tanda khusus. Sebagian malah tidak mempunyai tanda nama; kalaupun ada dalam ukuran yang kecil dan hanya terbaca dalam jarak dekat.

Fenomena yang sangat menarik adalah alih fungsi gereja menjadi masjid. Biasanya di kawasan perumahan yang telah berubah menjadi mayoritas muslim, seperti sekitar Birmingham dan Leicester, Inggris.

Namun tidak jarang alih fungsi menjadi masjid ini merupakan alternatif yang didukung banyak pihak. Karena tidak sedikit gereja di Inggris, misalnya, yang merubah fungsi menjadi restoran, pub atau gedung konser musik. Banyak yang tidak rela dengan alih fungsi yang kebablasan ini; mereka lebih rela kalau gerejanya tetap menjadi tempat ibadah, meskipun untuk agama lain.

Ketiga adalah ruangan serbaguna yang difungsikan sebagai Masjid pada waktu tertentu (sholat Jumat dan 'Id). Biasanya masjid ini berlokasi di kampus-kampus yang mempunyai populasi mahasiswa Muslim yang cukup besar, atau di kota-kota yang penduduk Muslim masih sangat sedikit.

Apapun bentuk masjid yang kita jumpai di Eropa, patut dicatat bahwa keberadaan masjid ini bukanlah kisah satu-dua tahun. Berbagai komunitas Muslim di Eropa harus melewati berbagai tantangan dan hambatan dalam membangun tempat beribadah yang layak.

Sebagian bahkan harus menunggu belasan tahun untuk bisa membangun masjid. Sebuah perjuangan yang sudah membuahkan hasil, meskipun berbagai hambatan masih banyak di hadapan.**

No comments: