Pages

23 March 2013

Lion Air: Ambisi Besar Singa ASEAN

Lion at airbus
CEO Lion dan Airbus di Istana Elysee, Paris
setelah tandatangan kontrak pemesanan 234 Airbus A320
yang disaksikan Presiden Hollande

Lion Air kembali membuat berita dengan pesanan pesawat dalam jumlah fantastis. Setelah memborong 230 pesawat generasi baru Boeing 737Max pada tahun 2011, baru-baru ini Lion Air kembali membeli 234 pesawat Airbus A320 (yang terdiri dari 109 A320Neo, 65 A321Neo dan 60 A320CEO), yang merupakan jenis pesawat medium haul generasi terbaru dari perusahaan trans Eropa yang bermarkas di Perancis tersebut.

Saking besarnya pembelian ini, Presiden Perancis Francois Hollande menyempatkan diri dan menjamu perjanjian pemesanan pesawat tersebut di Istana Elysee, Paris, dan menunda keberangkatannya untuk bertemu Kanselir Jerman guna membahas bailout Cyprus.

Pesanan ini bukan saja penting bagi Airbus, tetapi juga bagi Perancis dan EU yang terus dibayangi tingkat pengangguran yang masih dua digit dan resesi tanpa ujung.

Presiden Hollande mengatakan pesanan Lion Air akan menjamin lebih dari 5,000 pekerjaan di Airbus Perancis selama 10 tahun ke depan. Menariknya, ketika Presiden AS menjadi saksi pemesanan 230 pesawat dari Boeing pada November 2011, Obama menyebutkan pesanan Lion akan menciptakan dan mengamankan sekitar 100,000 lapangan pekerjaan di Amerika Serikat.

Pesanan Lion Air juga akan memastikan selama 10 tahun ke depan berbagai industri pendukung Airbus di seluruh Eropa, terutama berabagai unit produksi Airbus di Spanyol, Inggris, dan Perancis, serta berbagai perusahaan pemasok Airbus seperti Rolls Royce (mesin pesawat), akan mampu keluar dari bayang-bayang resesi EU yang berkepanjangan.

Yang juga menerima manfaat adalah lembaga kredit ekspor Perancis, Jerman dan Inggris, yang akan mengucurkan kredit kepada Lion untuk membiayai pembelian pesawat ini. Angka pinjaman dan kreditor belum bisa dipastikan, mengingat pembiyaan pesawat baru diperlukan ketika akan delivery pertama pada pertengahan 2014. Namun total nilai pembelian Lion Air ke Airbus mencapai angka EUR18 miliar (atau lebih dari Rp.227 triliun).

Tambahan pembelian ini akan juga menambah hutang dan kewajiban Lion Air, mengingat sebelumnya telah mempunyai komitmen hutang sebesar US$1.1 milyar kepada Exim Bank Amerika Serikat, untuk pemesanan 230 Boeing 737 (Max dan 900ER) senilai US$21.7 miliar (Rp.211 triliun) tahun 2011 yang lalu.

Bagaimana Lion Air akan membayar semua hutang ini? 

Laporan internal perusahaan dan dari beberapa liputan wawancara media dengan CEO Lion Air, menyebutkan perusahaan akan menggunakan berbagai fasilitas kredit ekspor dan perbankan untuk membiayai seluruh biaya pembelian pesawat, baik dari Boeing maupun dari Airbus.

Akses ke fasilitas pembiayaan luar negeri dimungkinkan karena potensi pertumbuhan dan daya ekspansi Lion Air yang besar, apalagi dengan dimulainya operasi Malindo Air di Malaysia, dimana Lion memiliki 49% saham.

Optimisme ini juga didukung oleh optimisme pertumbuhan industri penerbangan di Indonesia yang sangat menjanjikan. Salah satu analysis industri penerbangan, misalnya, mensinyalir pertumbuhan penumpang pesawat di Indonesia mencapai 60% antara tahun 2009 - 2015. Jika diterjemahkan dalam jumlah penumpang, maka diperkirakan akan bertambah dari 44.5 juta pada tahun 2009 menjadi hampir 77.6 juta pada tahun 2015.

Angka ini kelihatannya sudah akan jauh terlampaui. Laporan terbaru menyebutkan bahwa pada akhir 2012, jumlah penumpang pesawat di Indonesia mencapai angka 72,5 juta, atau meningkat sebanyak 20% dari tahun sebelumnya (60,2 juta).

Dengan market share 41%, jumlah penumpang Lion Air diperkirakan akan meningkat dari 30an juta pada tahun 2012, menjadi 40-50 juta pertahun pada tahun 2015. Bahkan, dengan penambahan pesawat yang signifikan, bukan tidak mungkin dalam lima tahun ke depan Lion Air akan menguasai 55-60% pangsa pasar domestik.

Angka ini bila dikonversi menjadi revenue, akan menjadi pendapatan lebih dari US$1miliar (Rp.9,7 triliun) setiap tahunnya. Dengan margin 2% saja, Lion Air diperkirakan tidak menghadapi masalah dengan pembayaran hutang fantastis yang sekarang ditanggungnya.

Namun ada beberapa hal yang harus diingat, dan disinyalir oleh beberapa analis. Industri penerbangan adalah industri paling rentan di dunia, dengan beberapa potensi risiko unik yang mungkin dihadapi;
  • Fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung tidak menentu
  • Berbagai gangguan keamanan yang mengganggu lalu lintas trafik penumpang dan arus wisatawan
  • Persaingan yang sangat tinggi di segmen low cost carrier di berbagai rute domestik, regional dan international (Air Asia, Silk Air, Tiger Airways, CitiLink, Mandala)
  • Pertumbuhan infrastruktur yang lamban (airports, terminal penumpang, SDM).
Yang juga perlu dicatat, komponen biaya dan pendapatan penerbangan sangat tergangung kepada banyak hal. Satu laporan menyebutkan, profit margin industri penerbangan (di Amerika Serikat) hanya 1% dari revenue; selebihnya digunakan untuk minyak (29%), gaji (20%), biaya pembelian dan sewa pesawat (16%), lisensi, landing fee dan pajak (14%), perawatan (11%) dan lain-lain (9%).

Dengan margin yang tipis dan risiko politik-keamanan dunia yang tidak stabil, akankah Lion Air bisa terus mengaum di langit Indonesia dan Asia? Agaknya jawabannya akan sangat tergantung bagaimana Lion Air mengelola berbagai ambisi regionalnya dengan pengelolaan keuangan, hutang dan revenue yang baik, dalam industri yang terkenal kejam dan telah banyak memakan korban.

Selain itu, reputasinya yang kurang bagus dalam hal layanan dan ketepatan waktu, terutama untuk penerbangan domestik, merupakan tantangan tersendiri yang harus diperhatikan. Satu-satunya alasan kenapa banyak penumpang memilih Lion Air adalah karena pilihan rutenya yang banyak dan (kalau beruntung) harga yang ditawarkan relatif murah. Kalau faktor ini dimiliki oleh para pesaing Lion Air, yang rata-rata mempunyai layanan lebih baik, maka bukan tidak mungkin ambisi besar sang singa Asia akan berujung hampa.***

No comments: