Pages

10 November 2012

Anakku Mencari Tuhan


Suatu sore usai sholat maghrib dan mengaji, putri sulung kami Layyina bercerita tentang teman-temannya di sekolah dan berbagai polah lucu atau keyakinan yang mereka anut. Ada teman perempuannya yang banyak ngomong, teman yang kadang berkerudung kadang tidak, dan temannya penganut Sikh yang baik padanya.

Sampai pada satu topik dia bertanya, “Mana sih agama yang paling benar?”

Setengah terkejut saya mencoba memahami pertanyaannya. Lugu, ingin tahu, dan sesungguhnya sangat fundamental. Saya tidak melihat tanda-tanda kalau dia mulai berfikir aneh-aneh, sebagaimana banyak orang Inggris disini yang agnostic. Namun saya sadar, apa yang saya katakan akan mempunyai dampak yang sangat besar dalam hidupnya. Baik dalam hal confidence dia sebagai Muslimah di negara Barat ini atau dalam perkembangan dia mencari jati dirinya kelak.

Dan kalau saya timbang-timbang lebih jauh, jawaban saya juga bisa membuat saya diberi label pengikut paham tertentu dalam konteks diskursus ke-Islaman di Indonesia, yang sekarang sarat pertarungan identitas kelompok.

Namun saya sadar, concern saya bukanlah apa kata orang terhadap keagamaan saya, namun apa jawaban terbaik buat putri kami yang sedang beranjak remaja. Jawaban yang akan memberinya keyakinan akan agamanya dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan (confidence) bahwa orang tuanya adalah tempat pertama untuk bertanya segala hal. Dalam prosesnya beradaptasi dengan lingkungan di England, akan banyak sekali pertanyaan serupa atau yang lebih aneh akan dilontarkannya dalam dua-tiga tahun ke depan kami di sini. Saya juga ingin memberi jawaban yang akan membuka minda dan minatnya untuk terus menggali ilmu tentang agamanya.

Bismillah. Saya jawab pertanyaannya dengan sangat hati-hati namun mantap, “Sebagai orang Islam, kita harus meyakini bahwa Islam itu agama yang benar.”

Diam sejenak, seolah mencoba mencerna dan merasionalisasikan, dia kembali bertanya, “Bagaimana kita tahu Islam itu adalah agama yang benar?”

Sambil mengambil al-Quran dari atas meja, saya menjawab, “Untuk mengetahui kebenaran suatu agama kita harus pelajari kitab sucinya. Kita harus baca dan pelajari dengan baik isi al-Quran ini.”

Kemudian dia menanyakan kitab suci agama-agama yang lain. Saya mencoba membandingkan beberapa diantaranya, dan menjelaskan kalau al-Quran adalah kalam ilahi (benar-benar dari Allah) sementara yang lain telah bercampur  dengan fikiran dan perkataan manusia.

“Terus tahu dari mana kita kalau al-Quran asli dari Allah?”

“Salah satu buktinya adalah teks al-Quran ini”, ujar saya sambil menunjukan beberapa halaman dari mushaf ditangan saya, “yang dari zaman Nabi Muhammad hingga detik ini tidak berubah sedikitpun”. Saya tambahkan juga secara singkat akan banyaknya hafidz/hafidzah yang telah menghafal al-Quran yang sama dari zaman Nabi sampai sekarang.

Seolah paham, Layyin melompat bertanya tentang Baginda Rasul, “Kalau Nabi Muhammad, gimana kita tahu dia pernah ada?”

“Sekarang Daddy tanya, kalau dibilang orang Layyin punya seorang nenek, percaya nggak Layyin?”. Neneknya Layyin, ummi saya, meninggal dunia ketika saya masih berumur 10 tahun.

“Dari foto-foto. Kan dulu pernah lihat di Aceh” jawabnya cepat.

“Ok. Sekarang kalau Daddy bilang Layyin pernah punya buyut, neneknya nenek”, yang fotonya kami tidak pernah punya, “gimana taunya mereka pernah ada?”. Meskipun tak yakin ini analogi yang tepat, namun saya coba mengajaknya sejenak berkelana dalam alam fikiran logika.

Dia terdiam.

Dan sebelum dia sempat menjawab, saya sambung, “kita tahu mereka ada karena dikasih tau oleh ummi, nenek Layyin, dan orang-orang lain yang pernah melihat atau bersama mereka”.

Dia berfikir sejenak, “iya, ya”.

“Nah, Nabi kita lebih hebat lagi. Kisah beliau telah banyak ditulis oleh sahabat-sahabat yang pernah hidup dengan beliau atau orang-orang yang pernah belajar bersama mereka. Kisah kehidupan Nabi Muhammad itu bisa dibaca dan dipelajari dari berbagai kitab-kitab yang ada”

“Memang dulu sudah ada buku”, tanyanya serius?

Saya tidak menjawab langsung, namun mengajaknya membuka laman web dan mencari beberapa image tentang al-Quran dan kitab-kitab sirah yang terdapat dibeberapa situs.

Beberapa saat kemudian kami tenggelam dalam pencarian dan pembuktian berbagai hal. Selain ‘keaslian’ al-Quran, Nabi Muhammad, kisah Nabi-nabi terdahulu – dimana dia bertanya bahasa apa yang digunakan Nabi Adam, sampai lapisan-lapisan bumi dan matahari.

Malam itu menjadi episode terpenting bagi kami sebagai orang tua dalam memberikan pemahaman agama kepada Layyin dan dua adik-adiknya yang semakin kritis. Saya berharap, episode ini juga memberi makna bagi Layyina. Menjelang isya, kami tutup laman web dengan menutup gambar alam semesta dilayar. Saya bertanya dengan menunjuk gugusan bima sakti dilayar bening laptop, “bisa nggak manusia menciptakan alam semesta raya ini?”

Dia menggeleng, dan menjawab penuh semangat, “Banyak banget alam semestanya. Berarti bisa aja aliens itu benar-benar ada di luar sana?!”.

Saya tersenyum dan berdoa dalam hati, semoga anak-anakku terus belajar memahami ayat-ayat Allah dan menjadi ilmuwan pertama di dunia yang bisa menembus angkasa raya melebihi ilmuwan NASA.***

No comments: