Pages

19 March 2012

Form and Substance in Islamic Finance: Isu Lama Tapi Semakin Relevan

Hawa London yang dingin dengan suhu dibawah 9° C tidak menyurutkan semangat sekitar 60-an orang peserta workshop sehari keuangan syariah yang digelar di One Fleet Place, di jantung financial district kota London, hanya dua blok dari London Stock Exchange. Workshop ini diadakan atas kerjasama ISRA, Malaysia dan Institute of Islamic Banking and Insurance, London.

Workshop yang mengusung tema “Form and Substance in Islamic Finance: Challenges, Problems and the Way Forward” berlangsung selama satu hari dengan pemateri ternama yang sebagian besar berasal dari Malaysia dan Inggris. Materi utama yang dibahas adalah mengenai praktik keuangan syariah sekarang yang lebih cenderung dengan bentuk luar atau formalitas (form) dari transaksi dibandingkan dengan substansi (substance) dari akad atau skema keuangan syariah.

Tema ini dilatarbelakangi perdebatan sengit dan berkepanjangan mengenai formalitas versus subatansi. Sebagian besar pakar mengatakan form lebih penting dan diutamakan dalam fase awal pengembangan industri, sementara sebagian yang lain mengatakan substansi lebih penting.

Perdebatan antara form vs. substance bukanlah hal baru, mengingat sepanjang perkembangan industri keuangan syariah, selalu saja ada trade off ketika memilih mementingkan formalitas akad, misalnya halal-haramnya akad, dibandingkan mengedepankan pemenuhan tujuan utama transaksi keuangan, misalnya mencari masalahah.

Workshop dihadiri oleh sebagian besar praktisi hukum dari berbagi law firm di London, praktisi perbankan syariah, dan mahasiswa berbagai negara dari beberapa kampus di UK seperti MIHE Leicester, Durham University, University of East London dan Aston Business School Birmingham.

Workshop dibagi dalam empat sesi; pertama memberikan overview terhadap perdebatan antara forsm dan susbtansi keuangan Islam dari perspektif praktisi; sesi kedua menghadirkan beberapa kasus hukum dan peradilan dari empat negara yang melibatkan sengketa antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah atau pihak ketiga lainnya; sesi ketiga, merupakan forum sharing perspektif dan presentasi dari tiga anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari UK, UAE dan Malaysia; dan sesi terakhir merangkum dan memaparkan beberapa usulan mengenai langkah-langkah penguatan governance syariah untuk mengakhiri, atau setidaknya, meminimalisir debat form over substance.

Selalu ada trade-off: perspektif akademik dan praktisi

Dalam sesi pertama menghadirkan praktisi dan akademisi terkemuka yang bermukim di Inggris. Mereka adalah Prof. Nick Foster (SOAS London), Richard Thomas (Gatehouse Bank), Dr. Bashiru A. Umar (Central Bank of Nigeria) dan Dr. Mehmet Asutay (Durham University).

Yang menarik dalam sesi pertama adalah pandangan Richard Thomas, CEO Gatehouse Investment Bank, yang mengatakan ditengah kondisi ekonomi dan keuangan dunia yang semakin tidak pasti, Islamic Banking and Finance (IBF) mempunyai peluang yang besar untuk menawarkan solusi praktis dan menyeluruh. Setidaknya hal ini mulai disuarakan oleh beberapa kalangan, termasuk demonstran di Occupy Wall Street atau pihak Vatikan, yang mendesak industri keuangan barat/dunia meniru sistem keuangan Islami atau yang beretika.

Namun dia khawatir, kondisi industri keuangan syariah yang mementingkan formalitas atau form over substance akan menjadi bumerang. Produk-produk terbaru atau (dianggap) inovatif oleh praktisi seperti commodity murabahah atau sejenisnya yang lebih mengutamakan form, akan menyulitkan Islamic finance dalam meyakinkan stakeholder keuangan dunia untuk melirik islamic finance sebagai solusi.

Alasannya, authenticity dan kekhasan. Ketika kalangan industri konvensional, termasuk pengambil keputusan mereka di parlemen atau kabinet mencoba melihat seperti apa Islamic Finance itu, mereka akan menemukan produk-produk yang tidak jauh berbeda dengan produk-produk mereka yang semakin jauh dari sektor produktif/sektor riil, sehingga Islamic Finance malah tidak dilihat sebagai alternatif solusi yang tepat.

Hal ini juga disorot secara tajam oleh Prof. Mehmet Asutay, Director of Islamic Finance Program Durham University, yang mengatakan langkah mengutamakan form harus ditinjau kembali. Dia menggugat praktik Islamic Finance yang kehilangan dimensi sosial, yang menurutnya merupakan ruh dan raison  d’etre dari eksistensi Islamic Finance dan Islamic Economics. “Bukankah Mit Ghamr Savings dan Tabung Haji, sebagai cikal bakal Islamic Finance merupakan lembaga yang sangat berdimensi social?”.

Lebih lanjut Dr. Mehmet mempertanyakan sikap Lembaga Keuangan  Syariah yang mulai melupakan maqasid syariah, baik itu versi Imam Al-Ghazali (yang biasa kita kenal yaitu 5 aspek maqasid syariah) atau Ibn Qayyim (yang tidak membatasi maqasid syariah pada lima aspek). Baginya LKS sama sekali belum melakukan langkah nyata untuk mencapai social objectives dalam konteks maqasid syariah.

Form over substance di Peradilan: GCC, Malaysia dan UK

Sesi kedua menghadirkan tiga praktisi hukum yang berpengalaman menangani kasus-kasus perbankan dan keuangan syariah, yaitu Sheikh Muddassir Siddiqui (Partner, SNR Benton Dubai), Richard de Belder (Partner, SNR Benton UK) dan Madzlan Mohd. Hussain (Partner, Zaid Ibrahim & Co., Malaysia).

Sheikh Muddassir Siddiqui mengemukakan empat kasus dari UAE, Malaysia, Arab Saudi dan UK dimana form dan substance beradu argumen di peradilan. Sebagian besar kasus yang disampaikan merupakan gugatan nasabah terhadap bank (syariah) dimana mereka menggugat kesyariahan produk yang mereka konsumsi atau tindakan bank yang dianggap sewenang-wenang. Dasar gugatan adalah pada perbedaan antara praktik yang dilakukan dengan apa yang disebutkan dalam akad pembiayaan yang disepakati.

Salah satu contoh yang menarik adalah gugatan nasabah ijarah mumtahiya bit-tamlik di Dubai terhadap bank syariahnya. Nasabah tersebut default dalam membayar beberapa cicilan terakhir, dan kemudian bank menyita rumahnya dengan dasar bahwa dalam akad ijarah, selama belum luas barang menjadi objek pembiayaan adalah milik bank (pemberi sewa).

Pemilik merasa dirugikan dan menganggap dia bukan penyewa properti bank, melainkan nasabah pembiayaan perumahan, dan karenanya 80% nilai rumah sudah miliknya. Sebaliknya bank berpegang teguh pada akad ijarah dan menganggap berapun nilai cicilan, hak kepemilikan properti adalah miliknya.

Pada akhirnya, ketika hakim memutuskan yang diutamakan adalah substansi akad dan bukan form. Hakim bertindak adil dan mengetepikan bahwa secara formal akadnya adalah ijarah, namun secara substansi (hakikat) bank dan nasabah telah sepakat untuk melakukan akad pembiayaan rumah nasabah dengan skema ijarah.

Sementara Madzlan Mohd. Hussain menyampaikan beberapa kasus yang pernah ditanganinya, terutama terkait gugatan kehalalan produk Bai Bithaman Ajil (BBA) di Malaysia. Hampir semua nasabah di Malaysia yang berperkara di peradilan menggunakan argumentasi tidak syariahnya produk BBA yang ditawarkan bank. Mereka menggugat ke pengadilan bahwa produk yang ditawarkan telah melanggar asas syariah, sehingga tunggakan mereka tidak seharusnya wajib dilunasi. Yang menarik, hampir semua nasabah yang membawa argumentasi ini adalah mereka yang sudah atau akan default.

Hal ini menimbulkan syak bagi Madzlan bahwa sebagian besar nasabah yang membawa perkara ke pengadilan ‘did not come with clean hands’. Karena diibaratkan, kasus ini hampir sama ketika seorang pelanggan restoran memesan makanan dan kemudian makan sepuasnya. Namun ketika tidak sanggup membayar, pelanggan ini berdalih dan mengatakan makanan yang disajikan haram atau tidak layak makan.

Pada akhirnya, hakim di pengadilan tinggi Malaysia memutuskan perkara ini berdasarkan substansi akad yang awal, yaitu nasabah butuh pembiayaan dan karenanya keputusannya tetap berpihak kepada kehalalan produk BBA, yang sudah disahkan oleh Dewan Syariah di Bank Negara Malaysia.

Dalam sesi ini, sangat jelas terlihat bahwa subtance merupakan hal paling pokok bagi eksistensi dan pengembangan Islamic finance kedepan.

Pandangan Dewan Pengawas Syariah

Pandangan yang hampir sama juga disuarakan dalam sesi ketiga, ketika empat shariah adviser dari tiga negara menjadi panelis; Dr. Bashiru Aliyu Umar dari Nigeria, Bilal Khan dari UK dan Dr. Mohd. Fairooz  Abdul Khir dari Malaysia.

Bilal Khan, pakar syariah Inggris dari Simmons & Simmons LLP, secara lugas mengatakan kegusarannya akan banyaknya pihak yang tidak benar-benar mendalami syariah namun mengaku sebagai shariah adviser, atau duduk sebagai anggota DPS di berbagai lembaga keuangan syariah. Baginya ini akan memperparah kondisi industri yang akan terus mengutamakan formalitas halal-haram akad atau skim produk dibandingkan mengutamakan substansi LKS syariah sebagai pembawa maslahah.

Hal senada juga disampaikan Dr. Bashir Aliyu Umar, Penasihat Syariah Bank Sentral Nigeria, yang mengatakan pengawasan syariah membutuhkan keahlian dan komitmen dunia-akhirat. Sehingga diperlukan langkah kolektif untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan para Shariah Adiser dan Shariah Scholar dalam memberikan opini bagi lembaga keuangan syariah.

Penguatan governance sebagai solusi

Dalam sesi terakhir yang dipandu oleh Prof. Habib Ahmed, dari Durham University, menampilkan beberapa usulan langkah konkrit untuk mensiasiati perdebatan terus-menerus dan mengatasi berbagai persoalan yang mungkin muncul dari pemilihan formalitas dibandingkan substansi, terutama oleh industri. Pembicara dalam sesi keempat ini adalah Prof. Mahmood Faruqui (Bank of London & Middle East, London), Abdullah Haron (Assistant Secretary General IFSB), Trevor Norman (Director Islamic Finance Group, Volaw Trust Company, UK) dan Mushtak Parker (Editor, Islamic Banker).

Diantara usulan panelis adalah perlunya penguatan mekanisme pengawasan dan governance syariah. Hal ini menarik mengingat Malaysia baru saja mensahkan shariah governance framework yang mengatur antara lain batasan-batasan pengawasan dan peningkatan wewenang DPS, salah satunya adalah pengangkatan salah seorang anggota DPS dalam Dewan Komisaris atau Dewan Direksi.

Abdullah Haron, mewakili IFSB, menambahkan bahwa langkah serupa juga menjadi perhatian IFSB. Diusulkan supaya ada suatu standar internasional yang disepakati paling tidak di level IFSB dan AAOIFI mengenai kualifikasi yang dibutuhkan bagi anggota DPS.

Pelajaran untuk Indonesia

Secara umum dapat disimpulkan bahwa pembahasan mengenai substansi dan formalitas dalam praktik industri keuangan syariah masih harus ditingkatkan lagi, terutama dalam bentuk pengawasan dan governance. Secara sederhana, implikasi legal dari kesalahan pemilihan prioritas (form atau substance) akan sangat fatal sekiranya pihak yang memutuskan perkara kurang bijak atau tidak memahami substansi utama dari keuangan syariah. Kasus ijarah mumtahiya bit-tamlik di Dubai bisa menjadi blunder sekiranya hakim tidak melihat substansi, misalnya.

Oleh karena itu, peran DPS, hakim dan peradilan, pengacara, regulator dan perangkat supervisi lainnya harus semakin ditingkatkan. Langkah peningkatan kapasitas dan profesionalisme ini, bisa dilakukan melalui pengetatan regulasi dan kebijakan atau dengan peningkatan kapasitas anggota Dewan Pengawas Syariah atau pihak terkait lainnya.

Hal ini setidaknya sudah menjadi kesadaran banyak pihak di dunia, dan syukur Alhamdulillah Indonesia sudah melangkah cukup jauh dengan good governance system dari Bank Indonesia serta berbagai program Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) untuk meningkatkan kemampuan anggota DPS perbankan.*** (di muat Majalah Sharing, Januari 2012)

No comments: