Pages

17 March 2012

Reposisi Ekonomi Syariah dan Euphoria Perbankan


Diskursus dan perkembangan industri berbasis syariah sudah menjadi fenomena umum di sebagian besar kawasan dunia. Pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan syariah (LKS), terutama perbankan dan pasar modal, menjadikan keuangan syariah sebagai komoditas baru yang dicari oleh banyak orang. Lembaga keuangan besar global menanggapi fenomena ini dengan meluncurkan produk atau membuka unit usaha berbasis syariah, misalnya Citibank, HSBC, Allianz, BNP Paribas dan banyak lagi. 

Disisi lain, seminar, workshop atau konferensi tingkat dunia diadakan hampir setiap bulan diberbagai pusat bisnis dunia, baik di Timur Tengah, Asia Tenggara atau di Eropa. Peserta yang hadir dan memadati ruang-ruang seminar berasal dari berbagai kampus terkenal, lembaga multilateral internasional atau perusahaan besar dunia.

Namun ada satu yang salah dengan perkembangan yang disebut-sebut sebagai sinyal berkembangnya ekonomi syariah ini. Semua aktivitas diatas berpusat pada satu topik yaitu keuangan atau perbankan syariah, termasuk dalam The Sixth International Conference on Islamic Economics and Finance yang tahun lalu berlangsung di Jakarta. Bahkan anehnya, pengembangan ‘ekonomi syariah’ di Indonesia sangat identik dengan peran Bank Indonesia, yang notabene merupakan ibu dari lembaga perbankan tanah air. Aktivitas yang sudah berjalan selama hampir tiga dekade ini menjadikan persepsi dan perhatian semua pihak hanya kepada keuangan atau perbankan, yang sesungguhnya hanya bagian kecil dari bangun ekonomi syariah.

Latar Belakang

Konotasi atau pengidentifikasian ekonomi syiarah dengan perbankan syariah merupakan sesuatu yang sangat salah dan menyesatkan. Pertama, ini menyempitkan pemahaman terhadap sistem atau bentuk utuh dari ekonomi syariah. Bukankah sepanjang sejarah implementasi ekonomi dengan sistem syariah, keuangan dan perbankan tidak begitu dibesar-besarkan? Bukankah isu terbesar yang dihadapi, dulu dan sekarang, oleh sebuah perekonomian adalah kemiskinan, kemakmuran, pasar, harga dan perdagangan? Sayangnya isu-isu ini selama ini hanya berada pada periphery dalam wacana ekonomi syariah, baik di kampus maupun di media-media. 

Kedua, industri keuangan merupakan ‘permainan’ modern yang desain dan peraturannya diciptakan oleh sistem kapitalis. Lahir dan berkembangnya industri keuangan dunia dipicu oleh dua hal, riba dan uang (fiat money). Tanpa bermaksud mendemotivasi pelaku lembaga keuangan syariah atau menggelembungkan kritik Umar Vadillo dalam ‘The Fallacy of Islamic Banking’, kita harus akui bahwa ekonomi syariah tidak akan pernah bisa memperoleh kesuksesan berarti ketika harus bermain dalam arena yang aturannya dibuat secara sepihak oleh orang lain. 

Secara makro, industri perbankan dan keuangan syariah akan terus mengikuti aturan-aturan main yang ada sepanjang sistem keuangan global masih konvensional. Benchmarking terhadap harga-harga atau suku bunga konvensional masih akan terus berlanjut dimana standar industri keuangan akan tetap mengacu pada standar konvensional. Ketika ini terus berjalan, maka persoalan yang dihadapi oleh industri keuangan dan perbankan syariah tetap kompleks, dengan berbagai kontroversi yang ada. Persoalan dan kontroversi ini, ketika diladeni, semakin menghabiskan energi dan mengalihkan fokus kita semua dari persoalan utama yang dihadapi oleh ummat secara keseluruhan, ie. kemiskinan.

Satu hal yang pasti, ketika sebagian besar ummat Islam bergelut dengan naiknya BBM, langkanya bahan pokok, sulitnya mencari penghidupan dan berita kematian akibat wabah, industri keuangan syariah seakan tidak bereaksi. Yang ada adalah kebangaan dengan pertumbuhan industri tiga digit, peningkatan return atau NAB yang diatas rata-rata pasar, dan kesibukan dengan kompleksitas persoalan internal yang jauh dari hiruk pikuk persoalan ummat. 

Oleh karena itu, sebelum semakin jauh melangkah, penulis mengajak untuk melihat kembali persoalan inti yang harus dijawab oleh ekonomi syariah. Dan ini hanya akan bisa dilakukan dengan melihat secara lebih rinci bangunan ekonomi syariah atau dengan menyusun suatu cetak biru ekonomi syariah yang utuh dan menyeluruh.

Desain Ekonomi Syariah tanpa perbankan, mungkinkah?

Dalam menyusun kerangka suatu cetak biru sistem ekonomi syariah, yang harus diluruskan dan dijelaskan secara agak rinci adalah bagaimana posisi lembaga keuangan, wa bil khusus, perbankan syariah dalam kerangka ini.

Lembaga keuangan syariah dalam setting sistem ekonomi modern, syariah atau sebaliknya merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin mendesain suatu sistem ekonomi syariah dengan menegasikan sistem keuangan yang didalamnya ada perbankan dan pasar modal. Memang dalam perekonomian Islam silam lembaga perbankan atau lembaga intermediary sejenis nyaris tidak dikenal. Yang lazim adalah skema pembiayaan atau pembayaran langsung semisal modal ventura atau sejenisnya.

Hal ini dipertegas dengan sistem pendistribusian uang yang tidak memerlukan lembaga perbankan atau bank sentral. Ini dimungkinkan karena uang giral tidak dikenal, yang ada adalah lembaga penempa (mint) uang (emas) dan treasury yang mengatur nilai tukar (perak dengan emas) atau jumlah mata uang yang harus diedarkan.

Namun, adalah naif mengasumsikan kondisi sekarang yang jauh lebih kompleks dan sophisticated bisa mengadopsi sistem serupa diatas. Dengan demikian maka perbankan dan lembaga keuangan modern masih mempunyai tempat yang penting dalam sistem atau cetak biru ekonomi syariah yang akan disusun. Yang perlu diperhatikan adalah penyusunan ulang keterkaitan dan mekanisme interaksi semua lembaga keuangan ini dalam konteks bangunan ekonomi syariah yang hakiki. Bagaimana menempatkan bank dan pasar modal dalam kaitannya dengan lembaga lain seperti baitul mal, lembaga hisbah, dan lembaga pengambil keputusan publik lainnya.

Prasyarat Cetak Biru Ekonomi Syariah

Dengan mengambil posisi diatas maka cetak biru yang akan disusun mestilah menyeluruh dengan mengambil berbagai model yang pernah ada sebagai bahan acuan. Tidak mungkin menjiplak secara utuh sistem ekonomi ‘Umar bin ‘Abdul Aziz misalnya, karena kondisi masyarakat dan perekonomian sudah jauh berubah. Namun banyak hal yang bisa dijadikan sebagai landasan berfikir dan bergerak dari kesuksesan ekonomi yang ditunjukkan oleh Amirul Mukminin tersebut, yaitu sebuah ekonomi yang pada puncaknya tidak memiliki orang miskin satupun.

Juga sangat naif kalau desain yang disusun mengagungkan model yang dipraktikkan oleh sistem Kapitalis, meskipun seorang sahabat dari Universitas Indonesia mengatakan Kapitalisme juga bisa menjadi ‘religius’. Karenanya, sarannya, sistem Kapitalis yang sudah bermetamorfosis tetap harus menjadi acuan dalam pengembangan ekonomi syariah, karena sudah proven dan reliable. Namun kita semua tahu belang sistem Kapitalis, termasuk yang dibongkar oleh Jim Perkins atau Joseph Stiglitz.

Dalam proses penyusunan ini, diperlukan beberapa syarat atau prerequisite, diantaranya adalah menyusun prioritas ulang dalam pengembangan ekonomi syariah dalam skala global. Ini bisa dilakukan dengan memperbanyak atau meningkatkan upaya pengayaan atas kajian, penelitian, diskursus, seminar, publikasi dan sosialisasi sistem ekonomi syariah yang lebih utuh dan tidak parsial. Lembaga-lembaga yang ada, baik tingkat nasional atau internasional, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam proses ini.

Untuk kasus Indonesia, kegiatan PKES, MES, IAEI dan lainnya harus mulai mengarah kepada pembentukan opini dan kebijakan publik yang akomodatif terhadap ekonomi syariah. Kalau selama ini lembaga-lembaga diatas dimotori oleh praktisi atau pelaku perbankan dan keuangan maka sudah waktunya membalikkan pendulum jam. Keterlibatan pelaku ekonomi atau stakeholder yang lebih luas merupakan syarat awal berkembangnya sistem ekonomi syariah yang lebih utuh dan komprehensif.

Selain itu, perbedaan atau (persepsi masyarakat akan) persaingan yang selama ini terjadi antar lembaga pengembang ekonomi syariah, sudah harus hilang dari permukaan. Bila ini dilestarikan maka yang diperoleh nantinya hanya kebanggaan pribadi akan kesuksesan atau perseturuan abadi yang tidak membuahkan apa-apa.

Cetak Biru Ekonomi Syariah

Secara ringkas, desain cetak biru ekonomi syariah haruslah memiliki fondasi yang kuat, pilar-pilar yang kokoh, serta tujuan akhir yang jelas dan terukur. Pertama fondasi yang kuat. Ismail Raji’ al-Faruqi, tokoh Islamisasi Pengetahuan (Islamization of Knowledge), mengatakan fondasi dari proses Islamisasi adalah tauhid. Secara khusus al-Faruqi mengatakan bahwa fondasi ini harus dibangun melalui proses perubahan paradigma, dari sekuler menjadi paradigma tauhid (tawhidic paradigm). Dengan menjadikan Allah yang Esa sebagai fondasi, maka sistem ekonomi syariah mempunyai suatu kepastian langkah dan ultimate goal; semua dari Allah, semua dilakukan dengan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aktivitas, dan semua akan berakhir dan kembali kepada-Nya.  

Kedua, sistem ekonomi syariah haruslah mempunyai minimal tiga pilar yang kokoh, yaitu 1) lembaga fiskal (ie. baitul mal) dan regulator pasar (ie. hisbah) yang kokoh; 2) kegiatan ekonomi yang berdasarkan prinsip kesetaraan dalam berbagi hasil dan jauh dari unsur riba, maysir dan gharar; serta 3) konsumen serta masyarakat luas yang memahami pentingnya menjalankan roda perekonomian secara adil dan transparan.

Unsur terakhir yang harus dimiliki oleh cetak biru ekonomi syariah adalah apa yang disebut dengan goals, ultimate dan intermediate, yang secara garis besar merupakan penciptaan suatu tatanan berekonomi yang menciptakan kesuksesan secara materi (di dunia) dan kejayaan secara spiritual (di akhirat). Tentu saja secara kuantitatif ukuran keberhasilan atau tujuan yang hendak dicapai bisa dipresentasikan dalam bentuk tingkat kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan standar lain yang lazim digunakan.

Secara aplikatif, ukuran keberhasilan ekonomi syariah juga bisa diukur dengan kemampuan menghadapi krisis panjang (benchmark kasus Nabi Yusuf), mengentaskan kemiskinan sehingga para mustahiq zakat sudah tidak ada (kasus ‘Umar bin Abdul ‘Aziz), tingkat pendidikan dengan kecintaan masyarakat luas kepada ilmu yang sangat  tinggi (kasus Harun al-Rasyid), dan seterusnya.

Kesimpulan

Ekonomi syariah merupakan salah satu harapan banyak orang untuk mengakhiri penjajahan ekonomi modern, kesenjangan sosial ekonomi yang sangat tinggi, ketergantungan kepada hutang yang menjerat, dan lain-lain persoalan ekonomi. Sayangnya, harapan ini belum satupun yang bisa direalisasikan oleh apa yang disebut dengan ‘ekonomi syariah’. Euphoria dan harapan yang sempat menggelembung terhadap hadirnya lembaga keuangan syariah sebagai panacĂ©a penyakit ekonomi diatas kini hampir hilang. Masuknya pemain-pemain raksasa dari Barat bukan makin memperdekat LKS dengan persoalan inti tetapi semakin memperjauh.

Kondisi inilah yang ingin dihindari, minimal dengan mengurangi hiruk pikuknya perhatian dan besarnya harapan kepada LKS, yang notabene sangat business oriented. Oleh karena itu perlu mulai difikirkan dengan lebih matang langkah-langkah untuk mengoptimalkan momentum (atau euphoria) dimana masyarakat masih melihat ada harapan dengan ekonomi syariah. Persoalannya, masih berapa lama lagi waktu yang kita miliki sebelum euphoria ini hilang? Persoalan lain yang cukup besar adalah seberapa besar tantangan yang sebenarnya harus dihadapi untuk menyusun suatu strategi dan langkah konkrit membumikan ekonomi syariah? 

Magnitude dari tantangan pengembangan ekonomi syariah belum seluruhnya teridentifikasi, mengingat ekonomi syariah belum secara serius dianggap sebagai ancaman oleh Kapitalisme. Sekiranya kesadaran itu muncul, maka saat itulah hostility dari Kapitalisme akan muncul dalam berbagai bentuk dan wajah. Apalagi kita sadar akan kompleksitas persoalan internal dan berpencarnya sumber daya yang dimiliki dalam kotak-kotak atau baju-baju ‘asabiyah yang sempit dan picik. Itulah tantangan bersama yang harus segera dicari jalan keluarnya. (Nov-2005) ***  

No comments: