Suatu sore usai sholat maghrib dan mengaji,
putri sulung kami Layyina bercerita tentang teman-temannya di sekolah dan
berbagai polah lucu atau keyakinan yang mereka anut. Ada teman perempuannya
yang banyak ngomong, teman yang kadang berkerudung kadang tidak, dan temannya penganut
Sikh yang baik padanya.
Sampai pada satu topik dia bertanya, “Mana
sih agama yang paling benar?”
Setengah terkejut saya mencoba memahami
pertanyaannya. Lugu, ingin tahu, dan sesungguhnya sangat fundamental. Saya
tidak melihat tanda-tanda kalau dia mulai berfikir aneh-aneh, sebagaimana
banyak orang Inggris disini yang agnostic.
Namun saya sadar, apa yang saya katakan akan mempunyai dampak yang sangat besar
dalam hidupnya. Baik dalam hal confidence
dia sebagai Muslimah di negara Barat ini atau dalam perkembangan dia mencari
jati dirinya kelak.
Dan kalau saya timbang-timbang lebih jauh,
jawaban saya juga bisa membuat saya diberi label pengikut paham tertentu dalam
konteks diskursus ke-Islaman di Indonesia, yang sekarang sarat pertarungan
identitas kelompok.
Namun saya sadar, concern saya bukanlah apa kata orang terhadap keagamaan saya, namun
apa jawaban terbaik buat putri kami yang sedang beranjak remaja. Jawaban yang
akan memberinya keyakinan akan agamanya dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan (confidence) bahwa orang tuanya adalah
tempat pertama untuk bertanya segala hal. Dalam prosesnya beradaptasi dengan
lingkungan di England, akan banyak sekali pertanyaan serupa atau yang lebih
aneh akan dilontarkannya dalam dua-tiga tahun ke depan kami di sini. Saya juga
ingin memberi jawaban yang akan membuka minda dan minatnya untuk terus menggali
ilmu tentang agamanya.
Bismillah. Saya jawab pertanyaannya dengan sangat hati-hati namun mantap, “Sebagai
orang Islam, kita harus meyakini bahwa Islam itu agama yang benar.”
Diam sejenak, seolah mencoba mencerna dan
merasionalisasikan, dia kembali bertanya, “Bagaimana kita tahu Islam itu adalah
agama yang benar?”
Sambil mengambil al-Quran dari atas meja,
saya menjawab, “Untuk mengetahui kebenaran suatu agama kita harus pelajari
kitab sucinya. Kita harus baca dan pelajari dengan baik isi al-Quran ini.”
Kemudian dia menanyakan kitab suci
agama-agama yang lain. Saya mencoba membandingkan beberapa diantaranya, dan
menjelaskan kalau al-Quran adalah kalam ilahi (benar-benar dari Allah)
sementara yang lain telah bercampur
dengan fikiran dan perkataan manusia.
“Terus tahu dari mana kita kalau al-Quran
asli dari Allah?”
“Salah satu buktinya adalah teks al-Quran
ini”, ujar saya sambil menunjukan beberapa halaman dari mushaf ditangan saya,
“yang dari zaman Nabi Muhammad hingga detik ini tidak berubah sedikitpun”. Saya
tambahkan juga secara singkat akan banyaknya hafidz/hafidzah yang telah
menghafal al-Quran yang sama dari zaman Nabi sampai sekarang.
Seolah paham, Layyin melompat bertanya
tentang Baginda Rasul, “Kalau Nabi Muhammad, gimana kita tahu dia pernah ada?”
“Sekarang Daddy tanya, kalau dibilang orang
Layyin punya seorang nenek, percaya nggak Layyin?”. Neneknya Layyin, ummi saya,
meninggal dunia ketika saya masih berumur 10 tahun.
“Dari foto-foto. Kan dulu pernah lihat di
Aceh” jawabnya cepat.
“Ok. Sekarang kalau Daddy bilang Layyin
pernah punya buyut, neneknya nenek”, yang fotonya kami tidak pernah punya, “gimana
taunya mereka pernah ada?”. Meskipun tak yakin ini analogi yang tepat, namun
saya coba mengajaknya sejenak berkelana dalam alam fikiran logika.
Dia terdiam.
Dan sebelum dia sempat menjawab, saya
sambung, “kita tahu mereka ada karena dikasih tau oleh ummi, nenek Layyin, dan
orang-orang lain yang pernah melihat atau bersama mereka”.
Dia berfikir sejenak, “iya, ya”.
“Nah, Nabi kita lebih hebat lagi. Kisah
beliau telah banyak ditulis oleh sahabat-sahabat yang pernah hidup dengan beliau
atau orang-orang yang pernah belajar bersama mereka. Kisah kehidupan Nabi
Muhammad itu bisa dibaca dan dipelajari dari berbagai kitab-kitab yang ada”
“Memang dulu sudah ada buku”, tanyanya
serius?
Saya tidak menjawab langsung, namun
mengajaknya membuka laman web dan mencari beberapa image tentang al-Quran dan kitab-kitab sirah yang terdapat dibeberapa situs.
Beberapa saat kemudian kami tenggelam dalam
pencarian dan pembuktian berbagai hal. Selain ‘keaslian’ al-Quran, Nabi
Muhammad, kisah Nabi-nabi terdahulu – dimana dia bertanya bahasa apa yang
digunakan Nabi Adam, sampai lapisan-lapisan bumi dan matahari.
Malam itu menjadi episode terpenting bagi
kami sebagai orang tua dalam memberikan pemahaman agama kepada Layyin dan dua
adik-adiknya yang semakin kritis. Saya berharap, episode ini juga memberi makna
bagi Layyina. Menjelang isya, kami tutup laman web dengan menutup gambar alam
semesta dilayar. Saya bertanya dengan menunjuk gugusan bima sakti dilayar
bening laptop, “bisa nggak manusia menciptakan alam semesta raya ini?”
Dia menggeleng, dan menjawab penuh semangat,
“Banyak banget alam semestanya. Berarti bisa aja aliens itu benar-benar ada di luar sana?!”.
Saya tersenyum dan berdoa dalam hati,
semoga anak-anakku terus belajar memahami ayat-ayat Allah dan menjadi ilmuwan
pertama di dunia yang bisa menembus angkasa raya melebihi ilmuwan NASA.***
No comments:
Post a Comment