Diskursus dan perkembangan industri berbasis syariah sudah menjadi fenomena
umum di sebagian besar kawasan dunia. Pesatnya pertumbuhan lembaga keuangan
syariah (LKS), terutama perbankan dan pasar modal, menjadikan keuangan syariah
sebagai komoditas baru yang dicari oleh banyak orang. Lembaga keuangan besar
global menanggapi fenomena ini dengan meluncurkan produk atau membuka unit
usaha berbasis syariah, misalnya Citibank, HSBC, Allianz, BNP Paribas dan
banyak lagi.
Disisi lain, seminar, workshop
atau konferensi tingkat dunia diadakan hampir setiap bulan diberbagai pusat
bisnis dunia, baik di Timur Tengah, Asia Tenggara atau di Eropa. Peserta yang
hadir dan memadati ruang-ruang seminar berasal dari berbagai kampus terkenal,
lembaga multilateral internasional atau perusahaan besar dunia.
Namun ada satu yang salah dengan perkembangan yang disebut-sebut sebagai
sinyal berkembangnya ekonomi syariah ini. Semua aktivitas diatas berpusat pada
satu topik yaitu keuangan atau perbankan syariah, termasuk dalam The Sixth International Conference on
Islamic Economics and Finance yang tahun lalu berlangsung di Jakarta. Bahkan
anehnya, pengembangan ‘ekonomi syariah’ di Indonesia sangat identik dengan peran
Bank Indonesia, yang notabene merupakan ibu dari lembaga perbankan tanah air. Aktivitas
yang sudah berjalan selama hampir tiga dekade ini menjadikan persepsi dan
perhatian semua pihak hanya kepada keuangan atau perbankan, yang sesungguhnya
hanya bagian kecil dari bangun ekonomi syariah.
Latar Belakang
Konotasi atau pengidentifikasian ekonomi syiarah dengan perbankan syariah
merupakan sesuatu yang sangat salah dan menyesatkan. Pertama, ini menyempitkan pemahaman terhadap sistem atau bentuk
utuh dari ekonomi syariah. Bukankah sepanjang sejarah implementasi ekonomi
dengan sistem syariah, keuangan dan perbankan tidak begitu dibesar-besarkan?
Bukankah isu terbesar yang dihadapi, dulu dan sekarang, oleh sebuah
perekonomian adalah kemiskinan, kemakmuran, pasar, harga dan perdagangan? Sayangnya
isu-isu ini selama ini hanya berada pada periphery
dalam wacana ekonomi syariah, baik di kampus maupun di media-media.
Kedua, industri keuangan merupakan ‘permainan’
modern yang desain dan peraturannya diciptakan oleh sistem kapitalis. Lahir dan
berkembangnya industri keuangan dunia dipicu oleh dua hal, riba dan uang (fiat money). Tanpa bermaksud
mendemotivasi pelaku lembaga keuangan syariah atau menggelembungkan kritik Umar
Vadillo dalam ‘The Fallacy of Islamic
Banking’, kita harus akui bahwa ekonomi syariah tidak akan pernah bisa
memperoleh kesuksesan berarti ketika harus bermain dalam arena yang aturannya
dibuat secara sepihak oleh orang lain.
Secara makro, industri perbankan dan keuangan syariah akan terus mengikuti
aturan-aturan main yang ada sepanjang sistem keuangan global masih
konvensional. Benchmarking terhadap
harga-harga atau suku bunga konvensional masih akan terus berlanjut dimana
standar industri keuangan akan tetap mengacu pada standar konvensional. Ketika
ini terus berjalan, maka persoalan yang dihadapi oleh industri keuangan dan
perbankan syariah tetap kompleks, dengan berbagai kontroversi yang ada.
Persoalan dan kontroversi ini, ketika diladeni, semakin menghabiskan energi dan
mengalihkan fokus kita semua dari persoalan utama yang dihadapi oleh ummat
secara keseluruhan, ie. kemiskinan.
Satu hal yang pasti, ketika sebagian besar ummat Islam bergelut dengan
naiknya BBM, langkanya bahan pokok, sulitnya mencari penghidupan dan berita
kematian akibat wabah, industri keuangan syariah seakan tidak bereaksi. Yang
ada adalah kebangaan dengan pertumbuhan industri tiga digit, peningkatan return
atau NAB yang diatas rata-rata pasar, dan kesibukan dengan kompleksitas
persoalan internal yang jauh dari hiruk pikuk persoalan ummat.
Oleh karena itu, sebelum semakin jauh melangkah, penulis mengajak untuk
melihat kembali persoalan inti yang harus dijawab oleh ekonomi syariah. Dan ini
hanya akan bisa dilakukan dengan melihat secara lebih rinci bangunan ekonomi
syariah atau dengan menyusun suatu cetak biru ekonomi syariah yang utuh dan
menyeluruh.
Desain Ekonomi Syariah tanpa
perbankan, mungkinkah?
Dalam menyusun kerangka suatu cetak biru sistem ekonomi syariah, yang harus
diluruskan dan dijelaskan secara agak rinci adalah bagaimana posisi lembaga
keuangan, wa bil khusus, perbankan
syariah dalam kerangka ini.
Lembaga keuangan syariah dalam setting sistem ekonomi modern, syariah atau
sebaliknya merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin mendesain suatu sistem
ekonomi syariah dengan menegasikan sistem keuangan yang didalamnya ada
perbankan dan pasar modal. Memang dalam perekonomian Islam silam lembaga
perbankan atau lembaga intermediary
sejenis nyaris tidak dikenal. Yang lazim adalah skema pembiayaan atau
pembayaran langsung semisal modal ventura atau sejenisnya.
Hal ini dipertegas dengan sistem pendistribusian uang yang tidak memerlukan
lembaga perbankan atau bank sentral. Ini dimungkinkan karena uang giral tidak dikenal,
yang ada adalah lembaga penempa (mint)
uang (emas) dan treasury yang
mengatur nilai tukar (perak dengan emas) atau jumlah mata uang yang harus
diedarkan.
Namun, adalah naif mengasumsikan kondisi sekarang yang jauh lebih kompleks
dan sophisticated bisa mengadopsi
sistem serupa diatas. Dengan demikian maka perbankan dan lembaga keuangan
modern masih mempunyai tempat yang penting dalam sistem atau cetak biru ekonomi
syariah yang akan disusun. Yang perlu diperhatikan adalah penyusunan ulang keterkaitan
dan mekanisme interaksi semua lembaga keuangan ini dalam konteks bangunan
ekonomi syariah yang hakiki. Bagaimana menempatkan bank dan pasar modal dalam
kaitannya dengan lembaga lain seperti baitul mal, lembaga hisbah, dan lembaga
pengambil keputusan publik lainnya.
Prasyarat Cetak Biru Ekonomi
Syariah
Dengan mengambil posisi diatas maka cetak biru yang akan disusun mestilah
menyeluruh dengan mengambil berbagai model yang pernah ada sebagai bahan acuan.
Tidak mungkin menjiplak secara utuh sistem ekonomi ‘Umar bin ‘Abdul Aziz
misalnya, karena kondisi masyarakat dan perekonomian sudah jauh berubah. Namun
banyak hal yang bisa dijadikan sebagai landasan berfikir dan bergerak dari
kesuksesan ekonomi yang ditunjukkan oleh Amirul Mukminin tersebut, yaitu sebuah
ekonomi yang pada puncaknya tidak memiliki orang miskin satupun.
Juga sangat naif kalau desain yang disusun mengagungkan model yang
dipraktikkan oleh sistem Kapitalis, meskipun seorang sahabat dari Universitas
Indonesia mengatakan Kapitalisme juga bisa menjadi ‘religius’. Karenanya,
sarannya, sistem Kapitalis yang sudah bermetamorfosis tetap harus menjadi acuan
dalam pengembangan ekonomi syariah, karena sudah proven dan reliable.
Namun kita semua tahu belang sistem Kapitalis, termasuk yang dibongkar oleh Jim
Perkins atau Joseph Stiglitz.
Dalam proses penyusunan ini, diperlukan beberapa syarat atau prerequisite, diantaranya adalah
menyusun prioritas ulang dalam pengembangan ekonomi syariah dalam skala global.
Ini bisa dilakukan dengan memperbanyak atau meningkatkan upaya pengayaan atas
kajian, penelitian, diskursus, seminar, publikasi dan sosialisasi sistem
ekonomi syariah yang lebih utuh dan tidak parsial. Lembaga-lembaga yang ada,
baik tingkat nasional atau internasional, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam
proses ini.
Untuk kasus Indonesia, kegiatan PKES, MES, IAEI dan lainnya harus mulai
mengarah kepada pembentukan opini dan kebijakan publik yang akomodatif terhadap
ekonomi syariah. Kalau selama ini lembaga-lembaga diatas dimotori oleh praktisi
atau pelaku perbankan dan keuangan maka sudah waktunya membalikkan pendulum
jam. Keterlibatan pelaku ekonomi atau stakeholder
yang lebih luas merupakan syarat awal berkembangnya sistem ekonomi syariah yang
lebih utuh dan komprehensif.
Selain itu, perbedaan atau (persepsi masyarakat akan) persaingan yang
selama ini terjadi antar lembaga pengembang ekonomi syariah, sudah harus hilang
dari permukaan. Bila ini dilestarikan maka yang diperoleh nantinya hanya
kebanggaan pribadi akan kesuksesan atau perseturuan abadi yang tidak membuahkan
apa-apa.
Cetak Biru
Ekonomi Syariah
Secara ringkas, desain cetak biru ekonomi syariah haruslah memiliki fondasi
yang kuat, pilar-pilar yang kokoh, serta tujuan akhir yang jelas dan terukur. Pertama fondasi yang kuat. Ismail Raji’
al-Faruqi, tokoh Islamisasi Pengetahuan (Islamization
of Knowledge), mengatakan fondasi dari proses Islamisasi adalah tauhid.
Secara khusus al-Faruqi mengatakan bahwa fondasi ini harus dibangun melalui
proses perubahan paradigma, dari sekuler menjadi paradigma tauhid (tawhidic paradigm). Dengan menjadikan
Allah yang Esa sebagai fondasi, maka sistem ekonomi syariah mempunyai suatu
kepastian langkah dan ultimate goal;
semua dari Allah, semua dilakukan dengan kesadaran akan kehadiran Allah dalam
setiap aktivitas, dan semua akan berakhir dan kembali kepada-Nya.
Kedua, sistem ekonomi syariah haruslah mempunyai minimal tiga pilar yang
kokoh, yaitu 1) lembaga fiskal (ie. baitul mal) dan regulator pasar (ie.
hisbah) yang kokoh; 2) kegiatan ekonomi yang berdasarkan prinsip kesetaraan
dalam berbagi hasil dan jauh dari unsur riba, maysir dan gharar; serta 3)
konsumen serta masyarakat luas yang memahami pentingnya menjalankan roda
perekonomian secara adil dan transparan.
Unsur terakhir yang harus dimiliki oleh cetak biru ekonomi syariah adalah
apa yang disebut dengan goals, ultimate dan intermediate, yang secara garis besar merupakan penciptaan suatu
tatanan berekonomi yang menciptakan kesuksesan secara materi (di dunia) dan
kejayaan secara spiritual (di akhirat). Tentu saja secara kuantitatif ukuran
keberhasilan atau tujuan yang hendak dicapai bisa dipresentasikan dalam bentuk
tingkat kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan standar lain yang lazim
digunakan.
Secara aplikatif, ukuran keberhasilan ekonomi syariah juga bisa diukur
dengan kemampuan menghadapi krisis panjang (benchmark
kasus Nabi Yusuf), mengentaskan kemiskinan sehingga para mustahiq zakat sudah
tidak ada (kasus ‘Umar bin Abdul ‘Aziz), tingkat pendidikan dengan kecintaan
masyarakat luas kepada ilmu yang sangat
tinggi (kasus Harun al-Rasyid), dan seterusnya.
Kesimpulan
Ekonomi syariah merupakan salah satu harapan banyak orang untuk mengakhiri
penjajahan ekonomi modern, kesenjangan sosial ekonomi yang sangat tinggi,
ketergantungan kepada hutang yang menjerat, dan lain-lain persoalan ekonomi.
Sayangnya, harapan ini belum satupun yang bisa direalisasikan oleh apa yang
disebut dengan ‘ekonomi syariah’. Euphoria
dan harapan yang sempat menggelembung terhadap hadirnya lembaga keuangan
syariah sebagai panacéa penyakit
ekonomi diatas kini hampir hilang. Masuknya pemain-pemain raksasa dari Barat
bukan makin memperdekat LKS dengan persoalan inti tetapi semakin memperjauh.
Kondisi inilah yang ingin dihindari, minimal dengan mengurangi hiruk
pikuknya perhatian dan besarnya harapan kepada LKS, yang notabene sangat business oriented. Oleh karena itu perlu
mulai difikirkan dengan lebih matang langkah-langkah untuk mengoptimalkan
momentum (atau euphoria) dimana
masyarakat masih melihat ada harapan dengan ekonomi syariah. Persoalannya,
masih berapa lama lagi waktu yang kita miliki sebelum euphoria ini hilang?
Persoalan lain yang cukup besar adalah seberapa besar tantangan yang sebenarnya
harus dihadapi untuk menyusun suatu strategi dan langkah konkrit membumikan
ekonomi syariah?
Magnitude dari
tantangan pengembangan ekonomi syariah belum seluruhnya teridentifikasi,
mengingat ekonomi syariah belum secara serius dianggap sebagai ancaman oleh
Kapitalisme. Sekiranya kesadaran itu muncul, maka saat itulah hostility dari Kapitalisme akan muncul
dalam berbagai bentuk dan wajah. Apalagi kita sadar akan kompleksitas persoalan
internal dan berpencarnya sumber daya yang dimiliki dalam kotak-kotak atau
baju-baju ‘asabiyah yang sempit dan
picik. Itulah tantangan bersama yang harus segera dicari jalan keluarnya.
(Nov-2005) ***
No comments:
Post a Comment