Hawa London yang dingin dengan suhu dibawah 9° C tidak menyurutkan semangat sekitar 60-an orang peserta workshop
sehari keuangan syariah yang digelar di One Fleet Place, di jantung financial district kota London, hanya
dua blok dari London Stock Exchange. Workshop ini diadakan atas kerjasama ISRA,
Malaysia dan Institute of Islamic Banking and Insurance, London.
Workshop yang mengusung tema “Form and Substance in Islamic Finance:
Challenges, Problems and the Way Forward” berlangsung selama satu hari
dengan pemateri ternama yang sebagian besar berasal dari Malaysia dan Inggris. Materi
utama yang dibahas adalah mengenai praktik keuangan syariah sekarang yang lebih
cenderung dengan bentuk luar atau formalitas (form) dari transaksi dibandingkan dengan substansi (substance) dari akad atau skema keuangan
syariah.
Tema ini dilatarbelakangi perdebatan sengit
dan berkepanjangan mengenai formalitas versus subatansi. Sebagian besar pakar
mengatakan form lebih penting dan
diutamakan dalam fase awal pengembangan industri, sementara sebagian yang lain
mengatakan substansi lebih penting.
Perdebatan antara form vs. substance
bukanlah hal baru, mengingat sepanjang perkembangan industri keuangan syariah,
selalu saja ada trade off ketika
memilih mementingkan formalitas akad, misalnya halal-haramnya akad,
dibandingkan mengedepankan pemenuhan tujuan utama transaksi keuangan, misalnya
mencari masalahah.
Workshop dihadiri oleh sebagian besar praktisi
hukum dari berbagi law firm di London,
praktisi perbankan syariah, dan mahasiswa berbagai negara dari beberapa kampus
di UK seperti MIHE Leicester, Durham University, University of East London dan
Aston Business School Birmingham.
Workshop dibagi dalam empat sesi; pertama
memberikan overview terhadap perdebatan antara forsm dan susbtansi keuangan Islam dari perspektif praktisi; sesi kedua
menghadirkan beberapa kasus hukum dan peradilan dari empat negara yang
melibatkan sengketa antara lembaga keuangan syariah dengan nasabah atau pihak
ketiga lainnya; sesi ketiga, merupakan forum sharing perspektif dan presentasi dari
tiga anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari UK, UAE dan Malaysia; dan sesi terakhir
merangkum dan memaparkan beberapa usulan mengenai langkah-langkah penguatan
governance syariah untuk mengakhiri, atau setidaknya, meminimalisir debat form over substance.
Selalu ada trade-off: perspektif akademik dan praktisi
Dalam sesi pertama menghadirkan praktisi dan
akademisi terkemuka yang bermukim di Inggris. Mereka adalah Prof. Nick Foster
(SOAS London), Richard Thomas (Gatehouse Bank), Dr. Bashiru A. Umar (Central
Bank of Nigeria) dan Dr. Mehmet Asutay (Durham University).
Yang menarik dalam sesi pertama adalah pandangan
Richard Thomas, CEO Gatehouse Investment Bank, yang mengatakan ditengah kondisi
ekonomi dan keuangan dunia yang semakin tidak pasti, Islamic Banking and
Finance (IBF) mempunyai peluang yang besar untuk menawarkan solusi praktis dan
menyeluruh. Setidaknya hal ini mulai disuarakan oleh beberapa kalangan,
termasuk demonstran di Occupy Wall Street atau pihak Vatikan, yang mendesak
industri keuangan barat/dunia meniru sistem keuangan Islami atau yang beretika.
Namun dia khawatir, kondisi industri keuangan
syariah yang mementingkan formalitas atau form
over substance akan menjadi bumerang. Produk-produk terbaru atau (dianggap)
inovatif oleh praktisi seperti commodity
murabahah atau sejenisnya yang lebih mengutamakan form, akan menyulitkan Islamic finance dalam meyakinkan stakeholder
keuangan dunia untuk melirik islamic finance sebagai solusi.
Alasannya, authenticity
dan kekhasan. Ketika kalangan industri konvensional, termasuk pengambil
keputusan mereka di parlemen atau kabinet mencoba melihat seperti apa Islamic Finance
itu, mereka akan menemukan produk-produk yang tidak jauh berbeda dengan
produk-produk mereka yang semakin jauh dari sektor produktif/sektor riil,
sehingga Islamic Finance malah tidak dilihat sebagai alternatif solusi yang
tepat.
Hal ini juga disorot secara tajam oleh Prof.
Mehmet Asutay, Director of Islamic Finance Program Durham University, yang
mengatakan langkah mengutamakan form
harus ditinjau kembali. Dia menggugat praktik Islamic Finance yang kehilangan dimensi
sosial, yang menurutnya merupakan ruh dan raison d’etre dari eksistensi Islamic Finance
dan Islamic Economics. “Bukankah Mit Ghamr Savings dan Tabung Haji, sebagai
cikal bakal Islamic Finance merupakan lembaga yang sangat berdimensi social?”.
Lebih lanjut Dr. Mehmet mempertanyakan sikap
Lembaga Keuangan Syariah yang mulai
melupakan maqasid syariah, baik itu versi Imam Al-Ghazali (yang biasa kita
kenal yaitu 5 aspek maqasid syariah) atau Ibn Qayyim (yang tidak membatasi
maqasid syariah pada lima aspek). Baginya LKS sama sekali belum melakukan
langkah nyata untuk mencapai social
objectives dalam konteks maqasid syariah.
Form over substance di Peradilan: GCC, Malaysia dan UK
Sesi kedua menghadirkan tiga praktisi hukum
yang berpengalaman menangani kasus-kasus perbankan dan keuangan syariah, yaitu Sheikh
Muddassir Siddiqui (Partner, SNR Benton Dubai), Richard de Belder (Partner, SNR
Benton UK) dan Madzlan Mohd. Hussain (Partner, Zaid Ibrahim & Co.,
Malaysia).
Sheikh Muddassir Siddiqui mengemukakan empat
kasus dari UAE, Malaysia, Arab Saudi dan UK dimana form dan substance beradu
argumen di peradilan. Sebagian besar kasus yang disampaikan
merupakan gugatan nasabah terhadap bank (syariah) dimana mereka menggugat
kesyariahan produk yang mereka konsumsi atau tindakan bank yang dianggap
sewenang-wenang. Dasar gugatan adalah pada perbedaan antara praktik yang
dilakukan dengan apa yang disebutkan dalam akad pembiayaan yang disepakati.
Salah satu contoh yang menarik adalah gugatan
nasabah ijarah mumtahiya bit-tamlik
di Dubai terhadap bank syariahnya. Nasabah tersebut default dalam membayar beberapa cicilan terakhir, dan kemudian bank
menyita rumahnya dengan dasar bahwa dalam akad ijarah, selama belum luas barang
menjadi objek pembiayaan adalah milik bank (pemberi sewa).
Pemilik merasa
dirugikan dan menganggap dia bukan penyewa properti bank, melainkan nasabah
pembiayaan perumahan, dan karenanya 80% nilai rumah sudah miliknya. Sebaliknya
bank berpegang teguh pada akad ijarah dan menganggap berapun nilai cicilan, hak
kepemilikan properti adalah miliknya.
Pada akhirnya, ketika hakim memutuskan yang
diutamakan adalah substansi akad dan bukan form.
Hakim bertindak adil dan mengetepikan bahwa secara formal akadnya adalah
ijarah, namun secara substansi (hakikat) bank dan nasabah telah sepakat untuk
melakukan akad pembiayaan rumah nasabah dengan skema ijarah.
Sementara Madzlan Mohd. Hussain menyampaikan
beberapa kasus yang pernah ditanganinya, terutama terkait gugatan kehalalan
produk Bai Bithaman Ajil (BBA) di Malaysia. Hampir semua nasabah di Malaysia
yang berperkara di peradilan menggunakan argumentasi tidak syariahnya produk
BBA yang ditawarkan bank. Mereka menggugat ke pengadilan bahwa produk yang
ditawarkan telah melanggar asas syariah, sehingga tunggakan mereka tidak
seharusnya wajib dilunasi. Yang menarik, hampir semua nasabah yang membawa
argumentasi ini adalah mereka yang sudah atau akan default.
Hal ini menimbulkan syak bagi Madzlan bahwa
sebagian besar nasabah yang membawa perkara ke pengadilan ‘did not come with clean hands’. Karena diibaratkan, kasus ini
hampir sama ketika seorang pelanggan restoran memesan makanan dan kemudian
makan sepuasnya. Namun ketika tidak sanggup membayar, pelanggan ini berdalih
dan mengatakan makanan yang disajikan haram atau tidak layak makan.
Pada akhirnya, hakim di pengadilan tinggi Malaysia
memutuskan perkara ini berdasarkan substansi akad yang awal, yaitu nasabah
butuh pembiayaan dan karenanya keputusannya tetap berpihak kepada kehalalan
produk BBA, yang sudah disahkan oleh Dewan Syariah di Bank Negara Malaysia.
Dalam sesi ini, sangat jelas terlihat bahwa subtance merupakan hal paling pokok bagi
eksistensi dan pengembangan Islamic finance kedepan.
Pandangan Dewan Pengawas Syariah
Pandangan yang hampir sama juga disuarakan dalam
sesi ketiga, ketika empat shariah adviser
dari tiga negara menjadi panelis; Dr. Bashiru Aliyu Umar dari Nigeria, Bilal
Khan dari UK dan Dr. Mohd. Fairooz Abdul
Khir dari Malaysia.
Bilal Khan, pakar syariah Inggris dari Simmons
& Simmons LLP, secara lugas mengatakan kegusarannya akan banyaknya pihak
yang tidak benar-benar mendalami syariah namun mengaku sebagai shariah adviser,
atau duduk sebagai anggota DPS di berbagai lembaga keuangan syariah. Baginya
ini akan memperparah kondisi industri yang akan terus mengutamakan formalitas
halal-haram akad atau skim produk dibandingkan mengutamakan substansi LKS
syariah sebagai pembawa maslahah.
Hal senada juga disampaikan Dr. Bashir Aliyu
Umar, Penasihat Syariah Bank Sentral Nigeria, yang mengatakan pengawasan
syariah membutuhkan keahlian dan komitmen dunia-akhirat. Sehingga diperlukan
langkah kolektif untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan para Shariah Adiser
dan Shariah Scholar dalam memberikan opini bagi lembaga keuangan syariah.
Penguatan governance sebagai solusi
Dalam sesi terakhir yang dipandu oleh Prof.
Habib Ahmed, dari Durham University, menampilkan beberapa usulan langkah konkrit
untuk mensiasiati perdebatan terus-menerus dan mengatasi berbagai persoalan
yang mungkin muncul dari pemilihan formalitas dibandingkan substansi, terutama
oleh industri. Pembicara dalam sesi keempat ini adalah Prof. Mahmood Faruqui
(Bank of London & Middle East, London), Abdullah Haron (Assistant Secretary
General IFSB), Trevor Norman (Director Islamic Finance Group, Volaw Trust
Company, UK) dan Mushtak Parker (Editor, Islamic Banker).
Diantara usulan panelis adalah perlunya penguatan
mekanisme pengawasan dan governance syariah. Hal ini menarik mengingat Malaysia
baru saja mensahkan shariah governance
framework yang mengatur antara lain batasan-batasan pengawasan dan
peningkatan wewenang DPS, salah satunya adalah pengangkatan salah seorang anggota
DPS dalam Dewan Komisaris atau Dewan Direksi.
Abdullah Haron, mewakili IFSB, menambahkan
bahwa langkah serupa juga menjadi perhatian IFSB. Diusulkan supaya ada suatu
standar internasional yang disepakati paling tidak di level IFSB dan AAOIFI
mengenai kualifikasi yang dibutuhkan bagi anggota DPS.
Pelajaran untuk Indonesia
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pembahasan
mengenai substansi dan formalitas dalam praktik industri keuangan syariah masih
harus ditingkatkan lagi, terutama dalam bentuk pengawasan dan governance. Secara sederhana, implikasi
legal dari kesalahan pemilihan prioritas (form
atau substance) akan sangat fatal
sekiranya pihak yang memutuskan perkara kurang bijak atau tidak memahami
substansi utama dari keuangan syariah. Kasus ijarah mumtahiya bit-tamlik di Dubai
bisa menjadi blunder sekiranya hakim tidak melihat substansi, misalnya.
Oleh karena itu, peran DPS, hakim dan
peradilan, pengacara, regulator dan perangkat supervisi lainnya harus semakin
ditingkatkan. Langkah peningkatan kapasitas dan profesionalisme ini, bisa
dilakukan melalui pengetatan regulasi dan kebijakan atau dengan peningkatan
kapasitas anggota Dewan Pengawas Syariah atau pihak terkait lainnya.
Hal ini
setidaknya sudah menjadi kesadaran banyak pihak di dunia, dan syukur
Alhamdulillah Indonesia sudah melangkah cukup jauh dengan good governance system dari Bank Indonesia serta berbagai program
Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) untuk meningkatkan kemampuan anggota DPS
perbankan.*** (di muat Majalah Sharing, Januari 2012)
No comments:
Post a Comment